Bagaimana Israel mendapat keuntungan dari standar ganda internasional
Jauh dari memisahkan Israel dari kritik, masyarakat internasional telah berulang kali menutup mata atas pelanggaran hukum internasional negara tersebut.
Kasus dangkal yang paling menarik dari anti-Semitisme adalah yang dapat dibandingkan. Dikatakan bahwa dunia ini penuh dengan kasus-kasus yang lebih buruk dari penindasan dan pengekangan; jika masyarakat internasional berfokus secara “obsesif” terhadap Israel, ini pasti karena sebuah prasangka anti-Yahudi. Selama era ‘apartheid’ (sistem pemisahan ras), Afrika Selatan juga menuduh bahwa negaranya secara tidak adil disingkirkan dan dikucilkan. Benua Afrika, pembelanya melawan, dihiasi oleh satu partai diktator, sementara warga kulit hitam Afrika Selatan bernasib lebih baik secara ekonomi daripada banyak saudara mereka di tempat lain. Dalam kalangan tertentu, Israel telah menggantikan Afrika Selatan sebagai penetapan masalah moral era kita, dan gerakan standar ganda yang sama sekarang sedang berlangsung. Memang, Israel secara luas dituduh melaksanakan sistem apartheid di wilayah Palestina yang diduduki (dan, menurut beberapa pihak, juga di dalam Israel itu sendiri), sedangkan gerakan rakyat untuk mem-Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS) terhadap Israel menempatkan langkah ini sebagai penerus lineal dari kampanye sanksi anti-apartheid.
Sementara ini berlangsung, ada banyak kesamaan dalam perjuangan Afrika Selatan dan Palestina. Alasan dari perjuangan Afrika Selatan awalnya dipelopori oleh benua Afrika, di mana apartheid merupakan sebuah penghinaan pribadi bagi setiap orang kulit hitam dan dianggap sebagai penyakit tak kunjung sembuh dari era kolonialisme Barat yang memalukan. Alasan perjuangan Palestina awalnya dipelopori oleh dunia Arab, di mana para Zionis merampas dari penduduk pribumi yang sangat melekat di daerah tersebut dan terbentuknya Israel itu sendiri dianggap sebagai luka tak kunjung sembuh dari jaman imperialis. Baik Afrika Selatan maupun Palestina jatuh ke dalam pola generik dekolonisasi, namun keduanya akhirnya berasimilasi denan paradigma antikolonial dan diperjuangkan secara internasional sebagai contoh.
Namun, ketika kedua negara mengadopsi perjuangan ini, masyarakat internasional tidak menyangkal bahwa, karena ini, penyusup asing telah memperoleh hak. Jauh dari menuntut pemusnahan mereka, sebuah hak untuk tinggal itu diberikan oleh baik pemukim kulit putih di Afrika Selatan dan pemukim Yahudi di Palestina. Dalam konteks Palestina, hak untuk tinggal yang divalidasikan oleh Resolusi Partisi tahun 1947 (181) lebih murah hati, bahwa para Zionis, tidak seperti yang di Afrika, hanya baru-baru ini memberikan kesan kehadiran mereka melawan kehendak nyata dari penduduk pribumi, dan untuk menduduki lebih dari setengah Palestina, bahkan saat mereka hanya merupakan sepertiga dari penduduknya. Dari sini, opini publik di semua level menunjukkan tidak bermusuhan namun sebuah memberikan kelonggran, pengampunan, bahkan kemurahan hati yang jarang terhadap Israel. Meskipun menghancurkan budaya apartheid dengan memperluas perbatasannya secara paksa dan mengusir penduduk pribumi, Israel dibawa ke hadapan PBB, yang pada akhirnya setuju saja, seluruhnya atau sebagian, dalam pelanggara internasional mengerikan ini. Sedangkan ayat mukadimah 242 dari Resolusi Dewan Keamanan PBB, yang disetujui setelah perang 1967, menekankan prinsip hukum “tidak dapat diterimanya akuisisi wilayah perang.” Resolusi ini menyerukan Israel menarik diri hanya dari wilayah-wilayah “yang diduduki dalam konflik baru-baru ini,” dan tidak dari wilayah-wilayah yang ditaklukan pada tahun 1948.
Resolusi 242 tersebut juga menunjukkan hanya bagi “penyelesaian bagi pengungsi”, dan tidak bagi “hak-hak para pengungsi Palestina”, yang diatur dalam Resolusi Majelis Umum 194 (1948), “untuk kembali ke rumah mereka masing-masing dan hidup damai dengan tetangga mereka.” (Resolusi Majelis Umum 273 1949, yang menjamin masuknya Israel ke PBB, mengingat kewajiban Israel di bawah Resolusi 194). Konsesi/Kapitulasi ini bagi Israel kini telah diabadikan dalam konsensus internasional untuk menyelesaikan konflik, sebagaimana yang diatur dalam resolusi tahunan Majelis Umum, Pemukiman Damai dari Keraguan Palestina, dan dalam analisis hukum dari pendapat yang diberikan oleh Mahkamah Internasional pada tahun 2004. Resolusi ini menyerukan dua negara berdasarkan perbatasan tahun 1967, dan sebuah “resolusi adil bagi masalah pengungsi Palestina yang sesuai dengan resolusi 194.” (Dalam pembentukan resolusi yang bernuansa “resolusi adil... sesuai dengan” komitmen untuk memastikan “pelaksanaan” resolusi 194.) Selain itu, PBB tidak mengutuk serangan pertama Israel pada tahun 1967 sebagai tindakan agresi, walaupun Israel telah melanggar Piagam PBB, dan tidak menyerukan agar Israel menarik diri dari wilayah-wilayah yang didudukinya. Sebaliknya, dalam semangat kenegaraan dan perbankan dalam kepercayaan Israel, mereka memerlukan penghentian agresi kaum Arab yang diperlukan untuk evakuasi orang-orang Israel.
- Source : www.unz.com