Chomsky memukul balik Erdogan, mengatakan ia mendukung teroris
Tokoh linguis dan filsuf AS Noam Chomsky telah mengecam Presiden Turki Recep Erdogan, dengan menuduhnya “gelap” dan memiliki “mentalitas kolonialisme” untuk menandatangani sebuah surat terbuka yang memprotes operasi militer Ankara melawan kaum Kurdi.
Pertikaian tersebut diprovokasi oleh sebuah surat terbuka kepada pemimpin Turki yang ditandatangani oleh 1.128 akademisi Turki dan asing dari 89 universitas di seluruh dunia, termasuk Noam Chomsky dan Immanuel Wallerstein. Surat terbuka ini diterbitkan bulan lalu dengan judul: “Kami tidak akan menjadi bagian dari kejahatan ini.”
Kritik dari para akademisi atas operasi militer Ankara di bagian tenggara Turki yang mayoritasnya kaum Kurdi membuat marah Erdogan, dan terutama mengecam Chomsky.
“Biarkan duta besar kami di AS mengundang Chomsky, yang telah membuat pernyataan tentang operasi Turki melawan organisasi teroris,” kata Erdogan pada konferensi duta besar Turki tahunan ke-8 yang dimulai pada hari Senin. Ia menawarkan Chomsky untuk datang ke wilayah Kurdi.
“Jika saya memutuskan untuk pergi ke Turki, keputusan saya tidaklah berdasarkan ajakannya, namun seperti yang sudah sering sebelumnya, undangan kepada para pembangkang yang berani, termasuk kaum Kurdi yang telah diserang dengan parah selama bertahun-tahun,” kata Chomsky kepada Guardian melalui email dalam menanggapi usulan Erdogan.
Filsuf ini juga menuduh pemimpin Turki ini sebagai orang yang munafik dan menerapkan standar ganda dengan terorisme, serta secara membantu organisasi-organisasi teroris.
“Turki menyalahkan ISIS (atas serangan di Istanbul), yang mana Erdogan telah mendukung dalam banyak cara, sementara juga mendukung Front Al-Nusra, yang juga hampir sama. Ia kemudian meluncurkan kecaman terhadap mereka yang mengutuk kejahatan terhadap kaum Kurdi – yang kebetulan menjadi kekuatan dasar utama untuk melawan ISIS di Suriah dan Irak. Apakah harus ada komentar lebih lanjut mengenai hal ini?” katanya.
Surat terbuka tersebut meminta pemerintah Turki untuk mengakhiri “pembantaian” di bagian tenggara itu dan mengangkat pengepungan di kota-kota Kurdi, sementara, pada saat yang sama, menuduh Erdogan melancarkan peperangan melawan rakyatnya sendiri.
“Krisis yang ditimbulkan oleh diri sendiri di negara ini adalah tanggung jawab Erdogan, yang melihat kaum Kurdi... sebagai hambatan atas rencananya untuk mendirikan kekuasaan tertinggi untuk kepresidenan Turki,” kata surat terbuka itu.
“Dengan pengepungan yang dilakukan pada masyarakat bagian tenggara, Turki telah efektif menyatakan perang terhadap rakyatnya sendiri. Krisis saat ini dibuat-buat dan sama sekali tidak diperlukan. Ini menunjukkan sekali lagi bahwa Erdogan adalah kekuatan yang sangat memecah belah,” surat tersebut menambahkan.
Erdogan mengkritik keras penandatanganan surat tersebut dalam sebuah pidato pada hari Senin, mengklaim bahwa pelanggaran hak asasi manusia di bagian tenggara Turki dilakukan oleh para ‘teroris’ dan bukan oleh pasukan negara.
“Kerumunan ini, yang menyebut mereka sendiri sebagai akademisi, menuduh negara melalui sebuah pernyataan. Tidak hanya itu, mereka juga mengundang orang-orang asing untuk memantau perkembangannya. Ini adalah sebuah mentalitas kolonialisme,” katanya, menuduh para ulama Turki yang menandatangani petisi tersebut sebagai “pengkhianat”.
“Kalian bukanlah orang-orang yang tercerahkan, Anda berada ditempat yang gelap. Kalian bukanlah para intelektual. Kalian ini bodoh dan gelap, bahkan tidak mengetahui mengenai timur atau tenggara. Kami mengetahui tempat-tempat ini seperti kami ketahui alamat rumah kami sendiri,” Erdogan menggerutu.
Dewan Pendidikan Tinggi Turki (YOK) juga telah mengutuk petisi tersebut dan berjanji untuk memulai tindakan hukum terhadap para penandatangan yang berasal dari Turki.
“Deklarasi tersebut yang telah dikeluarkan oleh sekelompok akademisi yang menggambarkan perjuangan berkelanjutan negara kami melawan teror di bagian tenggara sebagai ‘pembantaian’ telah menempatkan seluruh dunia akademis kami dicurigai,” kata YOK dalam sebuah pernyataan.
Bentrokan antara pasukan Turki dan para pejuang Kurdi dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK), partai yang telah dilarang oleh Ankara, telah berlangsung sejak bulan Juli lalu, dengan otoritas Turki yang mengklaim bahwa mereka yang tewas selama operasi keamanan bagian tenggara negara tersebut adalah para anggota PKK.
Namun, menurut Human Rights Watch, lebih dari 100 warga sipil juga tewas selama tindakan-tindakan keras tersebut.
Jam malam diberlakukan di beberapa kota di bagian tenggara karena kekhawatiran keamanan dari pihak otoritas Turki, meskipun ada tuntutan yang berulang kali untuk menghentikan jam malam tersebut oleh warga setempat.
Menurut Yayasan Hak Asasi Manusia Turki / Human Rights Foundation of Turkey (HRFT), setidaknya 162 warga sipil telah tewas sejak jam malam diberlakukan, termasuk 29 wanita, 32 anak-anak, dan 24 orang tua.
- Source : www.rt.com