www.zejournal.mobi
Selasa, 19 November 2024

BOCOR: ‘Snowden Baru’ merilis dokumen program drone Obama

Penulis : RT | Editor : Admin | Jumat, 16 Oktober 2015 09:56

Sebuah cache berisikan dokumen-dokumen rahasia mengungkapkan operasi dalam drone AS di Somalia, Yaman dan Afghanistan, termasuk mekanisme menargetkan para tersangka yang dijadwalkan untuk dibunuh.

Dokumen-dokumen, slide, visual dan analisis tersebut telah diposting oleh The Intercept pada hari Kamis dengan judul “The Drone Papers”. Cache tersebut berisi dua slide set yang merincikan operasi drone AS di Somalia dan Yaman antara tahun 2011 dan 2013 oleh pasukan rahasia Task Force 48-4.

Dokumen-dokumen tersebut diberikan kepada The Intercept oleh seorang sumber dalam komunitas intelijen AS yang tidak ingin namanya diketahui karena penuntutan agresif dari pemerintah bagi para pelapor. Ia mengatakan masyarakat Amerika memiliki hak untuk tahu tentang proses dimana orang-orang ditempatkan pada daftar pembunuhan dan dibunuh atas perintah dari para pejabat pemerintahan AS.

Setelah menganalisa dokumen-dokumen yang bocor selama berbulan-bulan, delapan bagian penyelidikan tersebut kemudian diterbitkan oleh Jeremy Scahill dan rekan-rekannya dari The Intercept. Ini mengeksplorasikan cara-cara drone yang “telah menjadi senjata pilihan Obama dan digunakan oleh pihak militer dan CIA” – telah digunakan di kedua zona peperangan yang sebelumnya sudah dideklarasikan dan belum.

Mengatakan bahwa “telah ada fokus yang intens terhadap teknologi pembunuhan jarak jauh” di antara para pejabat tinggi AS, laporan tersebut menunjukkan bahwa serangan fatal dari drone yang menargetkan orang-orang diluncurkan dari pangkalan-pangkalan di Afghanistan dan Irak, serta di Somalia dan Yaman – walaupun bukan di dalam zona perang... serangan-serangan tersebut dibenarkan dalam pembatasan-pembatasan yang ketat.”

Dengan serangan drone yang pertama dilakukan di luar zona perang, lebih dari 12 tahun yang lalu, “baru pada bulan Mei 2013, Gedung Putih merilis serangkaian standar dan prosedur untuk melaksanakan serangan-serangan tersebut,” kata The Intercept. Meskipun jaminan publik adalah bahwa serangan tersebut “lebih tepat sasaran”, investigasi ini mempertanyakan jumlah korban dari serangan tersebut.

“Jumlah contoh yang salah dikaitkan sangat mencengangka, ketika para pemilih salah mengaitkan orang-orang tertentu. Dan tidak sampai beberapa bulan atau tahun kemudian Anda semua tiba-tiba menyadari bahwa yang selama ini Anda kira adalah sebuah target yang pas, ternyata itu adalah sinyal ponsel dari ibu target tersebut,” The Intercept mengutip sumber tersebut, pembunuhan yang dilakukan oleh drone “tergantung pada intelijen yang tidak dapat diandalkan.”

“Pekerjaan pemantauan yang keterlaluan ini – yang memantau orang-orang, mengkategorikan dan menumpuk mereka dalam daftar, memberikan mereka nomor-nomor, memberikan hukuman mati bagi mereka tanpa pemberitahuan sebelumnya, di medan perang seluruh dunia – merupakan langkah yang sangat salah,” pelapor tersebut mengatakan kepada The Intercept.

Data-data paling sering dikumpulkan “dari penyadapan ponsel dan komputer yang digunakan untuk berkomunikasi,” dengan ponsel dan email yang menjadi “alat utama yang digunakan oleh pihak militer untuk menemukan, mengkonfirmasikan dan menghancurkan target tersebut.” Menurut sang pelapor, metode tersebut “memerlukan sejumlah besar keyakinan pada teknologi yang digunakan.”

“Intelijen yang rusak telah menyebabkan pembunuhan orang-orang yang tak bersalah, termasuk warga AS oleh serangan drone,” menurut laporan tersebut.

Serangan-serangan tersebut juga diduga telah melukai pengumpulan intelijen. Mengarakan bahwa operasi-operasi drone AS memiliki “kecenderungan berat terhadap serangan-serangan mematikan,” hanya satu dari empat target yang berhasil dilenyapkan di Horn of Afrika, dengan target-target lainnya telah dihilangkan sebagai gantinya. “Operasi-operasi pembunuhan yang signifikan ini mengurangi intelijen yang tersedia,” laporan tersebut berbunyi.

“Mereka juga menyoroti kesia-siaan peperangan di Afghanistan dengan menunjukkan bagaimana AS telah menuangkan sumber daya yang luas demi membunuh para pemberontak lokal,” tambahnya.

Dokumen-dokumen tambahan mengenai operasi drone di Afghanistan menunjukkan bahwa pemerintahan AS telah mengkategorikan orang-orang tidak dikenal yang tewas dalam serangan-serangan drone tersebut sebagai musuh, bahkan jika mereka bukanlah target yang dimaksud, sehingga hal tersebut dapat digunakan untuk menutup-nutupi jumlah korban sipil yang sebenarnya.

Sebagian besar pembunuhan tersebut didasari oleh sinyal intelijen (SIGNIT), dari metadata telepon untuk sinyal penyadapan. Intelijen yang rusak tersebut, yang sering kali disediakan oleh sumber-sumber lokal adalah penyebab utama terbunuhnya korban-korban sipil, kata pelapor.

Komunitas operasi khusus menghasut orang-orang yang ditargetkan, sehingga lebih mudah untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan moral, sumber tersebut mengatakan. “Mereka tidak memiliki hak untuk melakukan hal tersebut. Mereka tidak memiliki harga diri. Mereka tidak memiliki rasa kemanusiaan bagi diri mereka sendiri. Mereka hanyalah “pemilih” daripada penganalisa.”

Dokumen-dokumen tersebut juga mendeskripsikan Operasi Haymaker, sebuah kampanye operasi khusus di Afghanistan timur laut yang menunjukkan bahwa serangan-serangan udara AS menewaskan lebih dari 200 orang antara bulan Januari 2012 sampai Februari 2013, namun sebenarnya hanya aada 35 target. Pihak militer menunjuk orang-orang yang terbunuh dalam serangan tersebut sebagai “musuh tewas dalam aksi/enemy killed in action” (EKIA), kecuali bukti kemudian muncul untuk secara khusus menunjukkan bahwa korban laki-laki tersebut bukanlah seorang teroris.

“Siapa pun yang berada di sekitarnya disalahkan oleh asosiasi,” ujar sang pelapor.

Mempertanyakan definisi yang kabur dari target-target yang diberikan oleh Gedung Putih, dengan kebijakan yang mengatakan bahwa kekuatan mematikan akan diluncurkan hanya terhadap mereka yang menimbulkan “ancaman serius bagi warga negara AS,” dokumen-dokumen tersebut menunjukkan adanya kekurangan dari “kriteria tertentu” bahwa apakah target yang dipilih benar dapat menimbulkan ancaman yang nyata.

“Sementara alasan tersebut mungkin masuk akal dalam konteks peperangan yang telah dideklarasikan di mana personil AS berada di darat dalam jumlah besar, seperti di Afghanistan, standar tersebut menjadi sangat tidak berguna di negara-negara seperti Yaman dan Somalia, di mana sangat sedikit personil AS yang beroperasi di sana,” tulis The Intecept.

“Kampanye Washington yang menargetkan selama 14 tahun menderita kegagalan karena terlalu tergantung pada sinyal intelijen, sebuah jumlah korban sipil yang tak terhitung, dan – karena pilihannya untuk membunuh daripada menangkap – sebuah ketidakmampuan untuk mengekstrak intelijen yang berpotensi berharga dari tersangka teroris,” laporan tentang dokumen rahasia tersebut menyimpulkan.

Setelah publikasi tersebut, LSM Amnesty International yang berfokus pada hak asasi manusia menyerukan “penyelidikan independen langsung terhadap serangan-serangan drone pemerintahan Obama di luar negeri” yang akan diluncurkan oleh Kongres.

“Dokumen-dokumen ini menimbulkan keprihatinan serius tentang apakah Amerika Serikat telah secara sistematis melanggar hukum internasional, termasuk dengan mengelompokkan orang-orang tidak dikenal sebagai ‘teroris’ untuk membenarkan pembunuhan mereka,” Naureen Shah, direktur Keamanan Hak Asasi Manusia di Amnesty International AS mengatakan.

American Civil Leberties Union (ACLU) juga mengutuk dugaan malapetaka dari program militer AS yang diungkapkan oleh The Intercept, mengatakan bahwa “Program mematikan pemerintahan Obama sangat membutuhkan transparansi dan pertanggung jawaban karena merusak hak untuk hidup dan keamanan nasional.” Mereka sekarang sedang berusaha untuk mengungkap lebih lanjut tentang siapa orang-orang yang telah tewas dan mengapa,” tambahnya.

Amerika Serikat telah melakukan banyak pembunuhan yang ditargetkan di Yaman sejak program drone tersebut didesak oleh Administrasi Obama, dan sering mengakibatkan reaksi publik. Pada bulan Desember 2013, 12 orang tewas dan 15 lainnya luka-luka dalam serangan drone terhadap sebuah resepsi pernikahan yang diduga adalah sebuah konvoi Al-Qaeda sebelumnya. Pada bulan April 2014, setidaknya tiga warga sipil dan 30 sampai 55 militan Al-Qaeda tewas dalam serangan drone. Pada bulan Februari 2015, seorang anak berumur 12 tahun tewas dalam serangan drone karena terdaftar sebagai ‘militan’. Ia sebelumnya telah kehilangan ayah dan kakaknya dalam serangan yang serupa.

Serangan-serangan drone oleh militer AS telah menewaskan setidaknya 424 orang sejak pembunuhan-pembunuhan terjadi di negara tersebut, Biro Investigasi Jurnalisme melaporkan pada bulan Januari. Diantara mereka yang tewas, setidaknya ada 65 warga sipil.


- Source : www.rt.com

Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar