Resmi Pemekaran Papua, Indonesia Memiliki 37 Provinsi
Pemekaran Papua telah dituangkan dalam undang-undang setelah RUU pembentukan provinsi baru di Papua disepakati DPR. Ketiga provinsi baru itu menggenapi dua provinsi yang telah ada selama ini. Dua provinsi lama adalah Papua Barat yang beribukota di Manokwari dan Papua dengan ibukota di Jayapura.
Adapun tiga provinsi baru yakni Papua Selatan dengan ibukota Kabupaten Merauke, Papua Tengah dengan ibukota Kabupaten Nabire, kemudian Papua Pegunungan beribukota di Kabupaten Jayawijaya.
Presiden Joko Widodo akan mengangkat penjabat gubernur ketiga provinsi baru itu hingga terpilih definitif pada 2024. Penjabat gubernur akan ditunjuk paling lama enam bulan setelah undang-undang disahkan.
Rapat Paripurna DPR pengesahan ketiga provinsi berlangsung pada Kamis (30/6) lalu. Rapat disetujui dalam rapat paripurna yang dipimin Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.
Menurut Mendagri Tito Karnavian, pemekaran tersebut harus menjamin dan memberikan ruang kepada Orang Asli Papua (OAP). Kemudian untuk mempercepat pembanguan di Bumi Cendrawasih.
Namun, pemekaran itu sejak awal menuai penolakan. Karena pemekaran tiga provinsi baru ini dianggap justru bakal menghadirkan konflik baru yang semakin besar dan pelanggaran hak asasi manusia.
Majelis Rakyat Papua (MRP) menyatakan pemekaran hanya dilatari keingian 'orangg Jakarta' bukan kehendak rakyat Papua.
Perwakilan Sinode Gereja Kristen Indonesia (GKI) Papua Pendeta Dora Balubun malah menyebutkan telah terjadi perpecahan antara masyarakat adat di Nabire yang tidak mau bergabung dengan provinsi baru.
Hal senada disampaikan Perwakilan dari Petisi Rakyat Papua Ika Mulait bahwa pemekaran hanya akan menambah kasus pelanggaran HAM yang selama ini belum kunjung tuntas.
Sementara itu peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas menilai pemekaran lebih bertujuan memperlemah konsolidasi politik masyarakat sipil dan gerakan militer yang menginginkan Papua merdeka.
Protes juga disuarakan Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar. "Pengesahan ini tentu bentuk pemaksaan kehendak pemerintah, sebab proses legislasi UU tersebut tidak melalui prosedural yang sah," katanya, Jumat (1/7).
KontraS menilai pengesahan dilakukan dengan proses yang ugal-ugalan dan tidak partisipatif. "Hal ini tentu saja akan menambah besar luka Orang Asli Papua," ia menekankan.
Menurutnya, pemekaran itu telah ditolak dengan masif oleh masyarakat Papua dan bertentangan dengan Pasal 76 UU Otonomi khusus.
- Source : www.publica-news.com