Setelah Fenomena Trading, Kini NFT dan Kripto
Jauh sebelum muncul berita Ghozali Everyday yang berhasil menjual foto-foto selfie nya, saya sudah sempat berdiskusi dengan seorang teman soal fenomena NFT.
Saya menanyakan hal yang sama seperti yang ditanyakan banyak orang hari ini. Masa gambar begitu aja harganya milyaran?
Tapi fenomena ini terus berlanjut dan akhirnya sampai pada cerita seorang mahasiswa bernama Ghozali.
Dan bisa dibilang, Ghozali ini adalah babak baru NFT di Indonesia, karena kini semua orang membicarakannya. Sampai-sampai, ada orang terobsesi untuk menjual foto ketiak dan lubang hidungnya. Mungkin mereka pikir, yang penting aneh.
Soal laku dan tidaknya, ya kita lihat nanti. Yang penting semua jadi coba jualan NFT.
Di tengah maraknya berita Ghozali Everyday ini, saya coba tanya beberapa teman yang sangat suka berinvestasi. Sebagian menjawab mereka tidak ikut karena NFT dan Kripto ini tidak ada fundamentalnya. Sebagian lagi ternyata ikut beli, sekedar iseng-iseng seperti beli nomer togel. Kalau lagi hoki, untung Gede. Kalau ngga pun, ya hilang begitu saja anggap kayak lagi hura-hura atau belanja barang ga penting.
Karena Bagi mereka, orang-orang kaya Jakarta, uang sepuluh dua puluh juta itu bukan nominal yang besar. Dan mereka memang biasa habiskan sekedar untuk makan atau kasi uang jajan ke orang-orang yang mereka kehendaki.
Jadi misal ada token yang di kemudian hari nilainya bisa menjadi miliaran rupiah, mereka akan beli. Misal nanti malah ga jadi apa-apa, ya ga masalah. Lah wong cuma sepuluh dua puluh juta.
Tentu saja pemikiran mereka ini jauh berbeda dengan masyarakat menengah bawah, terutama yang penghasilannya masih berdasarkan UMR.
Maka cerita soal NFT ini berpotensi bermasalah kalau mereka yang bergaji UMR ikut-ikutan beli NFT. Karena jelas secara motivasi dan niatnya sudah berbeda jauh.
Pertanyaannya apakah ada juga dari kalangan menengah bawah yang ‘berinvestasi’ di NFT? Ini yang perlu kita cari tau dan selidiki.
Karena jika belajar dari pengalaman, kita pernah menghadapi maraknya trading saham. Gara-gara hebohnya drama korea berjudul Start Up. Situasi itu kemudian didukung oleh PPKM yang mengharuskan orang untuk diam di rumah.
Lalu sebagian orang bertanya-tanya, bagaimana caranya tetap di rumah tapi punya uang? Trading saham lah jawabannya.
Tapi kemudian orang awam tak terlalu paham bedanya trading saham, trading forex dan trading komuditas. Pokoknya yang ada chart itu namanya trading. Titik sampai di sana.
Selanjutnya, banyak orang bermasalah karena yang terjadi di lapangan, banyak orang justru pinjam uang, atau jual aset nya, demi bisa trading.
Padahal trading adalah level tertinggi dari orang yang belajar ekonomi dan fundamental.
Selain itu, aturan main soal margin call, trade limit dan potongan penalti di setiap jenis trading akan berbeda. Begitu juga dengan platform yang digunakan, akan berbeda lagi.
Tapi banyak orang tak sempat berpikir atau belajar. Karena mereka sudah dituntut oleh kebutuhan yang harus dicukupi. Harus dapat uang cepat dan kayaknya kalau lihat-lihat postingan orang, gampang aja dapat cuan.
Sehingga akhirnya banyak orang yang coba bunuh diri gara- gara gagal di trading. Entah itu saham, forex atau komuditas. Pun banyak yang tiba-tiba terlilit hutang dan tidak bisa bayar. Atau dampak lainnya adalah banyak sekali penipuan dengan kedok investasi. Dan kita bisa lihat nominalnya sangat-sangat fantastis, triliunan rupiah.
Jika melihat fenomena NFT dimana seorang mahasiswa bisa mendapat miliaran rupiah hanya dengan foto selfie, dengan pemberitaan yang sangat massif dan media menjadi corong utama untuk mempopulerkannya, terus terang saya agak khawatir apa yang terjadi pada saham, juga akan terjadi pada NFT.
Dan lagi-lagi, negara tak berdaya membendung arus besar ini. Sehingga dana triliunan rupiah akan begitu saja berputar tanpa arah fundamental yang jelas. Atau bahkan mengakibatkan masalah sosial baru yang berkepanjangan.
Pemerintah kita terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Tidak sempat melihat fenomena yang terjadi di kalangan masyarakat dan tidak tahu sebab asal usulnya. Sehingga beberapa kementerian hanya ikut-ikutan arus, tanpa arah kebijakan yang jelas.
Meski di sisi lain saya juga maklum. Karena Jangankan pemerintah. Kita saja, kalau setiap hari bekerja, berangkat pagi pulang sore, rasanya juga tak akan sempat menganalisa fenomena NFT dan Kripto ini.
Idealnya, kita hanya bisa melindungi keluarga sendiri. Agar punya pemahaman yang baik soal apapun yang lagi dibicarakan orang. Tapi ini juga berpotensi masalah. Karena Bisa saja keluarga kita sudah dengan pendapatnya sendiri, atau bisa juga sudah membuktikan bahwa mereka berhasil dapat uang beneran dari Kripto dan NFT.
Lalu bagaimana? Ya kembali pada diri sendiri saja. Selamatkan diri, buka pemikiran dan jangan takut untuk belajar. Kenali, pahami. Bahwa teori ekonomi dari jaman dulu sampai nanti mestinya akan sama saja: supply demand.
- Source : seword.com