Koruptor Itu Dimiskinkan, Bukan Dihukum Mati
Penulis bukanlah seorang sarjana hukum, bahkan tidak pernah kuliah atau belajar ilmu hukum di kampus atau semacam kursus singkat. Namun bukan berarti tidak boleh bicara soal hukum bukan?
Ini pun bukan karena ingin latah atau lancang apalagi sok tahu, namun karena sering melihat kasus-kasus hukum dinyatakan selesai dengan vonis, namun terasa ada yang janggal, tidak sesuai kaidah hukum itu sendiri. Dan, sialnya, celah seperti ini sering terlihat jelas oleh mata awam.
Maka Ini penting digarisbawahi dan menjadi bahan renungan bagi para penegak hukum. Supaya ilmu hukum yang diperoleh selama tahunan itu benar-benar bermanfaat dan tidak mubazir, maka laksanakan peradilan dengan sebenar-benarnya, demi tegaknya hukum itu sendiri. Jangan berdalih menegakkan hukum, padahal karena takut tekanan massa demo, atau preman. Tegakkan hukum meskipun nyawamu terancam.
Kasus atau vonis Ahok BTP dan Meliana sudah menjadi barang bukti yang akan terus menerus menyebarkan bau amis dan menyengat sepanjang masa. Kini bau busuk ini berpotensi semakin menyengat dengan kasus peradilan Muhammad Kace yang dituding menista agama.
Maka ada baiknya tim hakim di PN Ciamis, tempat sidang berlangsung, berkaca diri dan merenung dalam-dalam sebelum menjatuhkan vonis.
Tapi artikel simpel ini tidak sedang ingin membahas kasus M. Kace, namun soal hukuman mati yang baru-baru ini dijatuhkan terhadap terpidana kasus korupsi PT ASABRI (Persero).
Diberitakan bahwa Heru Hidayat resmi dijatuhi hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Selasa (7/12/2021) kemarin. Pria yang sebelumnya menjabat sebagai presiden komisaris PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) ini disebut secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi bersama mantan Direktur Utama Asabri, Adam Damiri dan Sonny Widjaja yang menyebabkan negara mengalami kerugian senilai Rp 22,7 triliun.
Soal apakah tudingan pengadilan ini benar, penulis tidak punya kemampuan untuk menganalisis atau menelaahnya secara hukum. Sebab sebagaimana di awal tulisan, penulis sudah berterus terang tidak memiliki ilmu hukum barang sejurus pun. Bahkan masih sering bingung menyangkut istilah KUHAP dengan KUHP.
Maka dalam opini ini kita hanya ingin sumbang saran soal hukuman mati. Banyak negara di dunia yang sudah menghapuskan hukuman mati dari sistem hukum mereka. Negeri kita sendiri masih memberlakukan hukuman mati atas berbagai kasus-kasus tertentu.
Misalnya untuk pelaku tindakan terorisme dalam skala tertentu, masih berlaku hukuman mati. Misalnya saja si Amrozi dan Imam Samudra, pelaku teror bom Bali, sudah dieksekusi beberapa tahun silam.
Hukuman mati juga diancamkan terhadap pengedar narkoba, koruptor dana bantuan sosial di masa-masa bencana. Namun anehnya, si Juliari Batubara, mantan mensos, hanya dihukum belasan tahun dalam kasus korupsi dana bansos di masa pandemi.
Lalu mengapa terdakwa PT Asabri dijatuhi hukuman mati, padahal kasusnya sendiri tidak menyentuh areal hukuman mati itu? Posisi penulis tentu tidak sedang membela atau ingin bersolidaritas dengan si Heru Hidayat itu. Kenal juga tidak. Bahkan perkembangan soal kasus Asabri ini pun sebenarnya tidak terlalu menarik minat penulis.
Penulis hanya tergelitik oleh ancaman hukuman mati, yang berdasarkan kaca mata kemanusiaan, sangat tidak layak dijatuhkan oleh manusia terhadap sesamanya. Sebab hidup dan mati seseorang itu adalah di tangan Tuhan. Ini kenapa manusia, dalam wujud peradilan atau atas nama hukum, merasa punya hak untuk mencabut nyawa manusia?
Apalagi jika vonis itu ditimpakan terhadap tersangka korupsi, tentu bisa sangat sumir. Bukan berarti kita membela tindakan korupsi, namun hanya menolak keras hukuman mati terhadap pelaku korupsi.
Apalagi menghukum mati pelaku korupsi, bukanlah cara yang tepat dan manjur untuk memberantas praktik-praktik korupsi. Atau jika konteksnya ingin memberantas korupsi, hukuman mati bukanlah cara yang efektif.
Selain mubazir dan sadis, ulah semacam itu merupakan suatu dosa besar di hadapan Sang Pencipta. Apalagi oknum hakim dan eksekutornya juga nyata-nyata bukan orang yang lurus dan jujur.
Lalu tindakan hukum apa yang sebaiknya dijatuhkan ke tersangka atau terdakwa pelaku korupsi? Miskinkan. Sekali lagi miskinkan. Sita seluruh harta benda yang dimilikinya sesuai besaran jumlah korupsi yang didakwakan.
Korupsi memang tergolong kejahatan yang luar biasa, namun soal vonis bisa saja keliru dijatuhkan terhadap orang yang "salah". Bahkan tidak tertutup kemungkinan seseorang secara bukti-bukti memang masuk, tetapi bagaimana kalau dia hanya diperalat atau dijebloskan? Apakah hukum dan pengadilan harus membunuhnya?
Maka "memiskinkan" seseorang tersangka korupsi memang sangat tepat, di samping yang bersangkutan tetap menjalani hukuman badan. Ketimbang eksekusi mati terhadap seseorang, kurungan badan seumur hidup akan menjauhkan hakim dan jaksa dari murka Allah.
Lalu bagaimana teknisnya hukum memiskinkan tersangka korupsi itu? Hitung saja berapa kerugian negara yang diembatnya dan denda. Lalu sita seluruh asetnya hingga tiada tersisa. Soal dirinya bangkrut, dan dan anak istrinya merana dan sengsara karena jatuh miskin, itu sudah risiko yang harus ditanggung.
Ini penting, sebab apalah efeknya apabila seseorang dihukum beberapa tahun karena mencuri uang negara ratusan miliar. Lepas dari kurungan dia akan disambut keluarga dengan sumringah disertai nasi tumpeng dan bahkan mungkin liburan ke luar negeri sebagai ucapan syukur?
Bila yang bersangkutan akhirnya dihukum mati pun, namun hasil-hasil korupsinya tetap dapat dinikmati ahli warisnya dengan pamer gaya hidup mewah bukan? Sedih karena kehilangan anggota keluarga, itu hanya sesaat. Tetapi kalau sudah telanjur dengan hidup nikmat (karena hasil korupsi), tidak ada rasa takut anak-cucunya untuk suatu saat mengulanginya bila ada peluang.
Namun bila melihat bagaimana sekeluarga tiba-tiba jatuh msikin, dan memulai hidup dari nol, semua orang akan ngeri membayangkan itu. Maka hukuman mati (untuk koruptor) hanya sia-sia jika tujuannya untuk membuat orang takut korupsi. Miskinkan sampai ke akar-akarnya, itu cara yang tepat dan manusiawi.
- Source : seword.com