www.zejournal.mobi
Rabu, 20 November 2024

Janji Palsu Taliban, Ini Daftar Larangan bagi Perempuan

Penulis : Fadhila Eka Ratnasari - Matamata Politik | Editor : Anty | Senin, 13 September 2021 12:13

Wajib berhijab, dilarang bermusik, hingga dilarang berolahraga, berikut sederet larangan bagi perempuan di bawah kekuasaan Taliban, sekaligus jadi bukti nyata janji palsu dan omong kosong Taliban selama ini.

??Sejak Amerika Serikat menggulingkan Taliban, perempuan dan anak gadis telah bergabung kembali dengan masyarakat dengan cara yang tidak terbayangkan sebelumnya di bawah kekuasaan Taliban. Sekarang nasib perempuan terancam di tengah kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan.?

Banyak kisah pelarian warga ke luar negeri mencerminkan ketidakpastian dan kecemasan perempuan Afghanistan, seiring mereka mengkhawatirkan nasib mereka di bawah Taliban. Jutaan orang takut kembali ke masa lalu represif, ketika Taliban melarang perempuan bekerja atau meninggalkan rumah tanpa wali laki-laki, menghapus sekolah untuk anak perempuan, dan secara terbuka mencambuk orang-orang yang melanggar.

1. Larangan perempuan bersekolah dan bekerja di luar rumah

Penduduk perempuan Afghanistan mengurung diri di rumah mereka pada 17 Agustus 2021, mengkhawatirkan nasib dan masa depan mereka di bawah pemerintahan Taliban, The New York Times melaporkan. 

Sementara itu, pagi hari yang sama, penyiar perempuan saluran swasta Tolo News Beheshta Arghand mewawancarai seorang pejabat Taliban, menanyakan tentang penggeledahan dari rumah ke rumah oleh Taliban di ibu kota Afghanistan, Kabul.

Adegan luar biasa pejabat Taliban menjawab pertanyaan jurnalis perempuan adalah bagian dari kampanye luas Taliban untuk menghadirkan wajah lebih moderat kepada dunia dan membantu menjinakkan ketakutan yang mencengkeram negara itu sejak pemberontak Taliban merebut ibu kota pada 15 Agustus.

Beberapa jam kemudian, seorang pembawa berita terkemuka di televisi pemerintah Khadija Amin menangis di ruang obrolan online Clubhouse. Taliban telah menskors dirinya dan karyawan perempuan lainnya tanpa batas waktu.

Di hampir semua tempat di mana Taliban berkuasa sebelum menggulingkan pemerintahan yang didukung Barat, sekolah dibatasi untuk anak perempuan sebelum kelas tujuh ketika mereka berusia sekitar 12 tahun. Seragam sekolah resmi bagi anak perempuan diganti dengan burqa dan niqab yang menutup seluruh tubuh dan wajah kecuali area mata. Untuk anak laki-laki, seragamnya shalwar kameez, tunik panjang dan celana longgar. Lebih banyak jam belajar juga didedikasikan untuk pengajaran Alquran daripada sebelumnya.

Ketika tidak benar-benar diancam, gadis-gadis dilarang bersekolah, sementara gedung-gedung sekolah rusak berat atau digunakan sebagai benteng pertempuran antara pemberontak Taliban dan pasukan pemerintah Afghanistan. Jumlah gadis yang terdaftar untuk mengikuti kankor, ujian masuk universitas tahunan pada Mei 2021, turun di beberapa bagian Herat dibandingkan dengan masa lalu. Di Universitas Herat, jumlah gadis remaja beberapa ratus lebih sedikit dibandingkan tahun lalu.

The Conversation mencatat, beberapa bulan terakhir sebelum kembali berkuasa, di pos pemeriksaan yang dikendalikan Taliban di seluruh negeri, kelompok hak asasi manusia telah mengamati gerilyawan yang menghalangi perempuan bepergian tanpa mahram laki-laki di atas usia 16 tahun, termasuk perempuan pengajar dan pengawas fasilitas pendidikan.

Namun, para pejabat Taliban berusaha meyakinkan para perempuan, segalanya akan berbeda kali ini. Dalam konferensi pers di Kabul pada 17 Agustus, juru bicara Taliban mengatakan perempuan akan diizinkan bekerja dan bersekolah. Pejabat Taliban lainnya mengatakan perempuan harus berpartisipasi dalam pemerintahan.

Ketika diminta menjelaskan terperinci, juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid hanya mengatakan perempuan dapat berpartisipasi dalam masyarakat “dalam batas-batas hukum Islam”.

Faktanya, dikutip dari Al Jazeera, daftar anggota kabinet yang diumumkan kepala juru bicara Emirat Islam Afghanistan Zabihullah Mujahid pada Selasa (7/9) didominasi para anggota punggawa lama Taliban, tanpa ada sosok perempuan.

Perempuan dapat terus bekerja di pemerintahan di Afghanistan tetapi tidak dijamin duduk di kabinet atau posisi senior lainnya, kata seorang juru bicara Taliban pada awal September 2021 sebelum pengumuman kabinet, disadur dari The Guardian.

Ketika ditanya apakah perempuan dan etnis minoritas akan mendapat tempat di pemerintahan baru Afghanistan, wakil kepala kantor politik Taliban di Qatar mengatakan kepada BBC, posisi senior dalam pemerintahan baru akan diisi berdasarkan prestasi dan kualifikasi.

Hampir setengah pekerjaan pegawai negeri di berbagai kementerian Afghanistan ditempati perempuan yang “seharusnya kembali bekerja”, kata pejabat itu, tetapi “dalam pemerintahan baru yang akan diumumkan, di posisi teratas di kabinet mungkin tidak ada perempuan”.

Para pejabat Taliban telah meminta warga Afghanistan yang melarikan diri untuk kembali ke dalam negeri dan membantu membangun kembali negara itu. Taliban telah berjanji untuk melindungi hak asasi manusia, tampaknya berusaha menampilkan wajah lebih moderat daripada rezim pertama mereka, yang terkenal dengan penegakan hukum Islam radikal yang brutal.

Namun, gerakan garis keras itu membuat janji serupa 25 tahun lalu, lantas melarang perempuan bersekolah dan bekerja, menegakkan aturan berpakaian ketat, mengadopsi pendekatan hukuman kepada orang-orang Kabul, dan secara terbuka menggantung mantan presiden.

Janji palsu terbaru Taliban mengingatkan kembali akan pemerintahan Taliban sebelumnya dari 1996 hingga 2001 merupakan periode suram bagi perempuan Afghanistan. Tahun-tahun sejak itu menjadi tahun-tahun yang penuh penderitaan dan kesulitan bagi laki-laki maupun perempuan. Pertanyaannya sekarang, apakah interpretasi Taliban terhadap hukum Islam akan sama kejamnya dengan ketika kelompok itu terakhir kali memegang kekuasaan.

Sudah ada tanda-tanda, setidaknya di beberapa daerah, Taliban mulai menerapkan kembali aturan lama. Perempuan di beberapa provinsi telah diminta tidak meninggalkan rumah tanpa ditemani kerabat laki-laki.

Di Universitas Kabul, mahasiswi tidak diizinkan meninggalkan kamar asrama kecuali ditemani wali laki-laki. 

Di Herat, Afghanistan Barat, Taliban bersenjata menjaga gerbang universitas serta mencegah mahasiswa dan pengajar perempuan memasuki kampus. Di kota selatan Kandahar, klinik perawatan kesehatan perempuan ditutup. Di beberapa distrik, sekolah perempuan ditutup sejak Taliban menguasai wilayah pada November 2020.

2. Keharusan perempuan berhijab

The New York Times mencatat, perempuan setempat mengaku mulai mengenakan burqa di jalanan, sebagian karena ketakutan dan sebagian mengantisipasi pembatasan yang akan diperintahkan Taliban.

Khawatir bentrokan dengan pejabat Taliban, banyak perempuan tetap menahan diri di rumah. Sementara itu, penduduk Kabul mencopot papan iklan yang menunjukkan perempuan tanpa jilbab.

The Jakarta Post mencatat, Taliban memberikan indikasi pertama pada 17 Agustus sejak berkuasa, mereka tidak akan mewajibkan burqa bagi perempuan, seperti saat terakhir kali memimpin Afghanistan. Di bawah aturan garis keras militan selama 1996-2001, sekolah-sekolah perempuan ditutup, sementara perempuan dilarang bepergian dan bekerja serta dipaksa mengenakan burqa yang menutupi semua anggota tubuh saat di tempat umum.

“Burqa bukan satu-satunya jilbab, ada berbagai jenis jilbab tidak terbatas pada burqa,” tutur Suhail Shaheen, juru bicara kantor politik kelompok itu di Doha, kepada media Inggris Sky News. Burqa adalah jilbab panjang yang menjulur menutupi seluruh kepala dan tubuh, dengan jendela jaring di bagian mata.

Shaheen tidak merinci jenis jilbab lain yang dianggap dapat diterima oleh Taliban.

3. Larangan perempuan bermusik

Di Kabul, menurut laporan The New York Times, segelintir perempuan dengan berani memprotes di lapangan dekat istana presiden, menuntut kebebasan sipil, sosial, dan politik.

Taliban membunuh seorang penyanyi folk perempuan Afghanistan ternama pada 28 Agustus. Beberapa hari sebelumnya, Taliban menegaskan melarang musik dimainkan di depan umum di Afghanistan, menurut seorang mantan menteri, Yahoo News melaporkan.

Selama wawancara dengan The New York Times yang diterbitkan pada 25 Agustus, seorang juru bicara Taliban mengatakan “musik dilarang dalam Islam”. Juru bicara Mujahid menuturkan bahwa Taliban akan “membujuk orang-orang” untuk tidak memainkan musik.

Di bawah periode kekuasaan mereka sebelumnya, Taliban melarang semua musik kecuali beberapa nyanyian keagamaan, menurut catatan The Guardian. Kaset-kaset dihancurkan, alat musik dilarang, bahkan burung penyanyi hasil tangkapan juga dilarang, lapor surat kabar itu. Bukan hanya musik yang ingin dihancurkan oleh Taliban. Menurut laporan India Today, suara perempuan di saluran televisi dan radio juga dilarang.

4. Nikah paksa ala Taliban

Perempuan Afghanistan dibakar sampai mati, dipaksa menikah dengan pejuang Taliban, dan juga diselundupkan ke luar negeri dalam peti mati untuk digunakan sebagai budak seks hanyalah serangkaian kengerian terbaru yang terungkap di Afghanistan setelah hanya lima hari pemerintahan Taliban, Al Bawaba melaporkan.

Awal Juli 2021, Taliban yang menguasai Provinsi Badakhshan dan Takhar mengeluarkan perintah kepada para pemimpin agama setempat untuk memberi mereka daftar anak perempuan di atas usia 15 tahun dan janda di bawah usia 45 tahun untuk “menikah” dengan militan Taliban, The Conversation melaporkan. 

Ketika pernikahan paksa semacam itu terjadi, perempuan dan anak gadis akan dibawa ke Waziristan di Pakistan untuk dididik kembali dan diajarkan menjadi “Islam sungguhan”.

Perintah ini telah menyebabkan ketakutan mendalam di kalangan perempuan dan keluarga mereka yang tinggal di daerah-daerah tersebut. Ancaman represi Taliban memaksa mereka melarikan diri dan bergabung dengan barisan pengungsi internal, menambah bencana kemanusiaan yang terjadi di Afghanistan. Dalam tiga bulan terakhir sebelum Agustus 2021 saja, 900 ribu orang Afghanistan telah mengungsi.

Sementara itu, seorang perempuan dibakar oleh gerilyawan Taliban pada 19 Agustus di utara Afghanistan karena mereka tidak menyukai makanan yang dimasak perempuan itu atas paksaan mereka, menurut Najla Ayoubi, mantan hakim Afghanistan yang sekarang tinggal di AS.

Pada 17 Agustus, juru bicara Taliban Zabiullah Mujahid bersumpah tidak akan ada serangan balas dendam serta akan menghormati hak-hak perempuan dan minoritas di bawah versi baru rezim Islam Taliban yang diklaim lebih moderat dibandingkan saat mereka menguasai negara itu pada 1990-an.

Namun, hampir semua janji itu telah dilanggar. Laporan PBB memperingatkan militan Taliban mendatangi rumah-rumah untuk mencari dan membunuh penduduk yang pernah bekerja sama dengan Barat. Rekaman terbaru dari Afghanistan menunjukkan militan Taliban menyerang siapa pun yang membawa bendera nasional Afghanistan dalam setidaknya selusin insiden terutama di ibu kota Kabul.

5. Larangan perempuan bermain olahraga

Kabar terbaru, perempuan Afghanistan, termasuk tim kriket perempuan negara itu, akan dilarang bermain olahraga di bawah pemerintahan baru Taliban di Emirat Islam Afghanistan, menurut seorang pejabat di kelompok Islam garis keras itu, The Guardian mencatat.

Dalam wawancara dengan lembaga penyiaran Australia SBS, wakil kepala komisi budaya Taliban Ahmadullah Wasiq mengatakan olahraga bagi perempuan dianggap tidak pantas dan tidak perlu. Wasiq menekankan bahwa perempuan tidak perlu bermain kriket atau olahraga lainnya yang bisa membuat tubuh mereka terbuka auratnya.

“Saya rasa perempuan tidak boleh bermain kriket karena perempuan tidak harus bermain kriket,” tukas Wasiq. “Dalam kriket, mereka mungkin menghadapi situasi ketika wajah dan tubuh mereka tidak tertutup. Islam tidak mengizinkan perempuan untuk dilihat seperti itu.

“Sekarang ini era media, jadi akan ada foto dan video, kemudian orang-orang menontonnya. Islam dan Emirat Islam Afghanistan tidak mengizinkan perempuan bermain kriket atau olahraga yang membuat mereka terekspos.”

Para petugas di dewan kriket Afghanistan mengaku belum diberitahu secara resmi tentang nasib tim kriket perempuan, sementara program dewan untuk anak perempuan telah ditangguhkan.

Olahragawan perempuan, termasuk pemain kriket, telah bersembunyi di Afghanistan sejak Taliban berkuasa di tengah penarikan pasukan asing pimpinan Amerika Serikat pada pertengahan Agustus 2021. Beberapa perempuan melaporkan ancaman kekerasan dari militan Taliban jika mereka ketahuan bermain olahraga.

Larangan bermain olahraga muncul di tengah meningkatnya bukti bahwa sikap Taliban terhadap perempuan hampir tidak berkurang sejak mereka terakhir berkuasa, menurut laporan The Guardian, meskipun ada klaim sebaliknya.

Uni Emirat Arab menyambut 41 pengungsi Afghanistan yang tiba dari Tajikistan pada Senin (6/9), termasuk 25 anggota tim atlet sepeda putri Afghanistan, CNN melaporkan. Mereka sedang diproses di UEA sebelum menuju ke Kanada untuk memulai kehidupan baru.

Seorang perempuan yang menolak disebutkan namanya karena alasan keamanan mengatakan kepada CNN bahwa dia takut menjadi atlet perempuan di Afghanistan setelah Taliban merebut kekuasaan.

Kisah evakuasi atlet pesepeda Afghanistan adalah salah satu dari beberapa lainnya yang muncul pasca-pengambilalihan Taliban, menyusul evakuasi tim nasional sepak bola wanita pada Agustus 2021.


Berita Lainnya :

Kesimpulan

Isu hak-hak perempuan kemungkinan akan mendominasi bagaimana rezim dinilai oleh komunitas internasional. Sikap terhadap olahraga perempuan dan kabinet pemerintah yang semuanya laki-laki menjadi sinyal peringatan yang tidak menyenangkan.

Dilansir dari The Guardian, pernyataan kebijakan yang dikeluarkan untuk mengiringi pengumuman kabinet baru berusaha menghilangkan ketakutan negara-negara tetangga Afghanistan dan seluruh dunia, tetapi perempuan tidak disebutkan satu kali pun dalam tiga halaman rilis pengumuman pejabat kabinet, tidak seperti kaum minoritas.

Bagi generasi baru gadis-gadis Afghanistan yang terbiasa bersekolah dan memupuk mimpi, era Taliban adalah sejarah kuno. Memutar kembali waktu kini adalah takdir yang hampir tak bisa mereka pahami.

Wida Saghary, aktivis hak-hak perempuan Afghanistan yang melarikan diri ke India empat bulan lalu, mengaku melindungi tiga aktivis perempuan lainnya di rumahnya di Delhi dan terus berhubungan dengan para aktivis lain di Afghanistan. Dia mendesak perempuan untuk melawan pembatasan Taliban secara damai tetapi dengan tangguh.

“Taliban belum pernah melihat atau mengalami perempuan pergi bekerja dan pergi ke sekolah dalam jumlah besar,” tukas Saghary, dikutip dari The New York Times. “Kita harus melawan mereka, pergi bekerja dan bersekolah. Perempuan tidak boleh menyerah.”


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar