Adakah Potensi Korup, Dzolim Serta Kebodohan di Proyek Aplikasi Peduli Lindungi?
Berkomentar sesuai dengan fungsi, itulah yang sedang coba saya lakukan terkait aplikasi peduli lindungi yang lagi rame karena kebocoran data Presiden. Oleh sebab itu saya dan kita sebagai rakyat jelata yang ditarget sebagai pengguna bisa memberi masukan dari sisi pengguna yang berkaitan dengan User Interface (UI) dan User experience (UX).
UI dan UX adalah kunci kualitas sebuah produk. Sebab produk dibuat untuk memenuhi kebutuhan para pengguna. Selain kemudahan dan fungsi, yang tak kalah penting tentu saja soal keamanannya. Produk apapun itu tanpa terkecuali produk IT.
Meskipun kita bingung, masukan dari sisi pengguna ini akan kita tujukan pada siapa, karena ada kesan saling lempar terkait kebocoran data sertifikat vaksin milik Presiden. Tetapi ya sudahlah, kita anggap memang pimpronya gak jelas, tetapi kita berpatokan pada nama lembaga yang tercantum sebagai pemilik di playstore adalah kominfo, dan ada nama kementerian lain yang juga tertera di website seperti Kemenkes hingga BUMN yang semestinya ikut berperan aktif dalam kesuksesan proyek aplikasi peduli lindungi tersebut.
Seperti yang kita ketahui bersama, peduli lindungi digunakan sebagai tempat menyimpan data orang-orang yang sudah divaksin. Di situ ada nama dan NIK yang mewakili primary key untuk sebuah identitas. Katanya, untuk bisa masuk mall hingga syarat perjalanan di pelabuhan dan bandara harus menggunakan aplikasi ini. Saya sendiri selama pandemi belum pernah pergi-pergi, jadi kurang paham seperti apa mekanismenya.
Langsung saja saya jabarkan dari sisi pengguna dalam uji coba. Setelah vaksin tahap pertama, saya udah mencoba cek data ke peduli lindungi tanpa login. Memasukan nama lengkap serta NIK dan muncul keterangan terkait kita udah divaksin tahap berapa hingga poli tahap selanjutnya dimana.
Dari uji coba yang pertama kita mencoba menerka tujuannya mengapa di laman utama sudah ada kolom pencarian data vaksin dengan memasukan nama lengkap dan NIK. Saya beranggapan hal itu mempermudah untuk orang cek tanpa repot-repot registrasi dan login.
Tujuannya baik, tetapi hal tersebut tidak relevan di tengah maraknya kejahatan di dunia maya. Peduli lindungi itu bukan medsos. Selain itu, kesadaran masyarakat terkait pentingnya data diri memang masih rendah, meskipun begitu, bukan berarti pemerintah tidak berupaya untuk mengajarkan masyarakat kita agar perduli dengan data diri.
Peluang kejahatan ada, dan itu sudah terjadi di Jakarta. Pelakunya adalah staff kelurahan Jakarta Utara. Ia memperjualkan sertifikat palsu. Pelaku menjual sertifikat palsu yang terhubung dengan aplikasi peduli lindungi dengang harga 370 ribu rupiah. Ia sudah menjual sebanyak 93 sertifikat. Hal itu karena ia memiliki akses data nama hinga NIK di kelurahan tersebut. Ingat ya, modalnya data yang ia dapat dari kelurahan tempatnya bekerja. Sumber: Jual Sertifikat Vaksin Palsu, Staf Kelurahan di Jakut Dipecat
Lalu solusi untuk mempermudah seharusnya seperti apa? Terutama untuk mempermudah orang-orang yang tidak punya handphone canggih atau orang-orang desa yang gaptek seperti saya? Seingat saya, saat pertama kali vaksin, ada sms link yang diberikan untuk serifikat vaksin. Selain itu juga kami disuruh mengisi sebuah kartu dan diberikan kembali pada kami untuk modal vaksin ke dua. Menurut saya ini adalah solusi yang sudah diberikan untuk orang-orang gaptek. Oleh sebab itu, pencarian tanpa login di aplikasi atau web peduli lindungi bisa dihilangkan. Tinggal dibuatkan menu khusus untuk verifikasi yang terdaftar untuk pelabuhan, bandara hingga mall yang membutuhkan scraning tersebut.
Setelah vaksin ke dua, saya cek sertifikat vaksin milik istri saya yang ketika vaksin pertama, petugasnya salah input nama, seharusnya huruf e tetapi ditulis huruf u, alhasil nama di KTP tidak sesuai dengan di sertifikat vaksin. Saya search di beranda tanpa login menggunakan nama yang benar dari istri saya di kolom pencarian nama, dan memasukan nomor induk KTP yang benar namun data tidak ditemukan. Setelah saya search menggunakan nama yang salah dan NIK benar, baru muncul datanya.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa ekosistem data kita kurang baik. Kalau baik, seharusnya terintegrasi dengan data yang ada di KTP, toh sudah E-KTP. Kalau alasannya hal itu butuh legalitas, aturan dan lain sebagainya, justru kita bisa menyimpulkan, kalau aplikasi peduli lindungi tidak melalui proses yang professional dengan kerangka besar yang baik. Sebab,terlepas itu aplikasi dibuat oleh siapa, toh itu akan difungsikan untuk menyimpan data yang harus akurat dan aman.
Selanjutnya, saya login untuk mencoba memperbaiki nama yang salah. Tetapi itu pun tidak bisa. Hal ini tentu saja berpotensi ada data berbeda antara yang di kartu vaksin dan di KTP. Mungkin ini bisa dimaklumi, karena kemungkinan besar yang harus menjadi patokan adalah Primary key dari NIK. Tetapi, seperti yang kita ketahui bersama, di lapangan potensi untuk mempermasalahkan ini besar terjadi. Coba saja, kita ngurus segala sesuatu, kalau nama kita berbeda satu huruf saja akan kerap dipermasalahkan.
Saya sendiri belum cek tujuan besar aplikasi ini digunakan sebagai apa. Apa benar untuk validasi data orang yang sudah divaksin, atau sekedar projek alakadarnya saja seperti mobil internet di era Tifatul Sembiring sang menterinya SBY? Sumber: Mengingat Lagi MPLIK, Mobil Internet Milik Kominfo yang Mangkrak
Meskipun saya bukan orang IT. Meskipun saya tidak memiliki gelar yang berkaitan dengan dunia IT beserta dengan sertifikatnya, tetapi saya meyakini, kalau harga dan kualitas itu saling keterkaitan. Hal itu adalah normal dan wajar.
Sebagai orang awam, saya tidak akan menyalahkan atau menggoblokan perusahaan atau tim yang membuat aplikasi tersebut. Kalau seumpama mereka yang goblok, sudah jelas kementerian kita yang menggunakan jasa mereka lebih goblok dari mereka karena tidak bisa mencari tim yang berkualitas. Jadi yang paling bertanggung jawab adalah pemberi proyek. Sebab pemberi proyek harus memiliki hitungan dan patokan terlebih dahulu.
Kalau kita berasumsi kementerian kita berisi orang hebat, dan bisa memilih tim atau menujuk perusahaan yang hebat untuk membuat aplikasi tersebut, maka akan timbul asumsi lain yaitu potensi korupsi. Kok bisa begitu? Ingat kembali dengan “ ada harga ada kualitas”.
Jika kita melihat budaya markup dan potong yang sudah dianggap biasa semenjak orde baru, saya jadi berfikir, mungkinkah dana untuk pembuatan peduli lindungi tersebut dipotong sana-sini? atau memang dana yang digelontorkan kurang memadai?
Setiap proyek itu sejatinya sama, tak perduli itu berupa bangunan fisik maupun teknologi. Contohnya adalah hambalang, proyek tersebut mangkrak karena dananya dikorupsi. Atau proyek E-KTP yang dulu juga di korupsi sehingga menimbulkan berbagai masalah. Masa iya dulu itu,udah E-KTP tapi masih ada masa berlakunya. Kan aneh. Sumber: Korupsi Hambalang, Siapa Saja Penerima Dana Haram Hambalang?
Jika kita berfikir positif bahwa tidak ada potensi korupsi, maka hal itu membawa kita pada asumsi lain yaitu kementerian kita dzolim. Memperkerjakan orang dengan tidak sesuai standar, hal itu tentu saja akan mempengaruhi kualitas atau hasilnya.
Kita akan ambil contoh untuk proyek real seperti pembangunan infrastruktur. Yang dimaksud dzolim adalah ketika tukang merangkap helper atau kenek, atau arsitek merangkap jadi operator alat berat. Sudah tentu hasilnya tidak maksimal meskipun mereka sudah bekerja dengan maksimal. Begitu pula di dunia IT pun memiliki bagian-bagiannya masing-masing. Bukan satu orang disuruh mengerjakan semuanya.
Di dunia IT pun kalau gak salah ada bagiannya masing-masing. Ada yang ngurusi desain yang berkaitan dengan UI dan UX, ada juga yang ngurusi front end, backend dan lain sebagainya. Di web sendiri, di aplikasi android pun sendiri.
Mengapa saya berfikir tentang kezoliman? Karena saya pernah melihat lowongan kerja IT di BUMN yang menurut saya tidak masuk akal dan zolim. Dimana satu orang harus menguasai banyak hal. Sebenarnya, hal itu terjadi karena ketidak pahaman mereka di dunia IT, sehingga berlaku semena-semena. IT di perusahaan yang bukan bergerak di bidang IT dianggap sebagai Superman yang serba bisa.
Paparan di atas tak ada maksud untuk menghina atau menyudutkan. Paparan di atas hanya sebuah sudut pandangi dari saya yang mungkin bisa mewakili suara rakyat jelata yang tinggal di desa. Desa yang infrastruktur internetnya masih mahal. Mau pasang indihome tapi belum tersentuh. Provider lain pun belum menjangkau. Mau gak mau mengandalkan kuota dari SIM card di HP yang sebenarnya lebih boros, apalagi setelah anak-anak sekolah daring. Itu pun sinyalnya timbul tenggelam. Ah jadi ingat Tifatul Sembiring yang bilang internet cepat buat apa. Itulah imbasnya. Semoga kementerian Jokowi gak mengikuti jejak ketidak pahaman menteri era SBY itu.
- Source : seword.com