Pengadaan Laptop Rp10 Juta per Unit Rawan Korupsi dan Monetisasi
Belakangan ini publik menyoroti program pengadaan laptop untuk sekolah yang digagas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Beredarnya spesifikasi laptop "Merah Putih" buatan Zyrex tersebut dianggap terlalu mahal dan terkesan ada indikasi mark up.?
Kemendikbudristek tercatat mengalokasikan dana Rp2,4 triliun untuk pengadaan 240 ribu laptop untuk sekolah, yang jika dihitung satu laptop bernilai Rp 10 juta. Publik merasa heran karena alokasi anggaran tersebut dinilai terlalu besar bila merujuk spesifikasi minimum laptop yang tercantum dalam Peraturan Mendikbud RI 5/2021 yang ditandatangani oleh Mendikbud Nadiem Makarim, dilansir Politik rmol.
Netizen media sosial pun beranggapan bahwa spesifikasi yang ditentukan itu terlalu rendah jika dibandingkan harga per unit sebesar Rp10 juta.
"HDD 32GB mah pasang flashdisk aja," tulis komika Ardit Erwandha melalui akun Twitternya @ArditErwandha.
“Harga 10 juta buat spesifikasi kayak gini tu sedih banget ga si? RAM cuma 4GB, HDD dikasi 32 GB doang, prosesor masih core 2, graphic cardnya jelas ga mungkin dual, bahkan OSnya juga ga pake windows yang original. Mau disuruh main zuma doang apa gimana ya?” tulis @kevinpramudya_.
Selain itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) turut menyoroti program digitalisasi sekolah yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (kemendikbudristek) yang akan dilakukan melalui pengadaan perangkat TIK, dilansir Gatra.
Dewi Anggarini, Peneliti ICW mengatakan, pihaknya belum menemukan adanya rencana pengadaan 189.840 unit laptop di dalam Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) LKPP.
Padahal, dalam rencana tersebut telah disediakan sekitar 200 ribu unit seperti yang dikatakan oleh pihak kemendikbud dalam keterangan di berbagai media.
“Yang kami belum temukan terkait perencanaan laptop di platfrom SIRUP LKPP. Kalau di media dikatakan ada hampir 200 ribu unit, yang kami temukan ini belum tertera diperencanaan pengadaan Kemendikbud,” terang Dewi dinukil Gatra.
Lebih lanjut, Dewi juga mengatakan, pihak Kemendikbudristek belum menyiapkan secara matang skema perencanaan unit laptop tersebut. Hal inilah yang menurut ICW rawan menjadi celah potensi korupsi, tulis Gatra.
Sebab, informasi di rencana umum pengadaan Kemendikbudristek pun Dewi mengakui sampai saat ini belum tersedia.
“Kalau perencanaan seperti ini seharusnya sudah diinformasikan dari jauh-jauh tahun, bukan jauh-jauh hari lagi,” ujar Dewi kepada TrenAsia.
“Kemudian pengadaan yang tidak sesuai kebutuhan untuk saat ini. Kemudian juga dapat timbul persaingan tidak sehat karena syarat penyedia masuk ke E-Catalog ini kan TKDN, ini hanya dimiliki beberapa penyedia saja,” sambung Dewi.
Di tempat terpisah, Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, kepada TrenAsia mengatakan, kebijakan program pengadaan laptop untuk sekolah ini bukan kebijakan yang tepat di tengah pandemi ini.
Trubus menilai, keadaan pendidikan Indonesia yang masih didominasi pembelajaran jarak jauh sejak tahun lalu, sehingga pengadaan laptop sekolah dinilai tidak efektif, terlebih anggaran yang digunakan sangat fantastis, tulis TrenAsia.
Lebih lanjut, ia menyarankan agar pemerintah fokus meningkatkan infrastruktur jaringan internet berkecepatan tinggi di daerah-daerah yang sebelumnya tidak terjangkau.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang dihimpun TrenAsia, seluruh provinsi di Indonesia memang sudah terkoneksi jaringan fiber optik. Namun, secara keseluruhan baru sekitar 36% wilayah Indonesia yang terkoneksi jaringan internet berkecepatan tinggi tersebut.
Trubus juga mendorong pemerintah untuk dapat selalu memberikan bantuan kuota internet gratis untuk kegiatan belajar mengajar, terutama di tengah pandemi COVID-19.
- Source : www.matamatapolitik.com