Kesenjangan Gender Masih Bayangi Olimpiade Tokyo 2020
Pada Pertandingan Olimpiade pertama di era modern, Athena 1896, pendiri Komite Olimpiade Internasional (IOC) Baron Pierre de Coubertin melarang perempuan berkompetisi.
Di Paris empat tahun kemudian, 22 atlet wanita diundang dalam lima cabang olahraga wanita, sementara hampir 1.000 pria mengikuti sisa acara tersebut.
Tahun ini, Olimpiade hampir mencapai kesetaraan gender.
Dari hampir 11.000 atlet Olimpiade di Tokyo, hampir 49% adalah wanita, menurut IOC, menandai pertandingan pertama “keseimbangan gender” dalam sejarahnya, catat BBC.
Di Paralimpiade, setidaknya 40,5% atlet adalah wanita, kata IOC, dengan sekitar 100 atlet wanita lebih banyak daripada di Rio de Janiero pada 2016.
Namun 125 tahun setelah Olimpiade pertama, pertandingan tersebut masih diselimuti oleh kesalahan langkah dan koreksi tergesa-gesa terkait gender, yang menggarisbawahi jarak yang harus ditempuh.
Dilansir dari BBC, berikut adalah beberapa tantangan yang dihadapi oleh para Olympian wanita, bahkan sebelum mereka bisa meraih emas. Perwakilan IOC tidak menanggapi permintaan komentar.
DISKUALIFIKASI PASCA-MELAHIRKAN
Mandy Bujold (33 tahun), adalah salah satu petinju kelas terbang wanita terbaik di dunia.
Sebagai juara nasional Kanada 11 kali dengan dua gelar Pan-American Games, dia menduduki peringkat kedelapan dunia pada 2018 ketika dia beristirahat dari tinju untuk melahirkan putrinya, Kate Olympia atau KO.
Dia merencanakan untuk kembali di ajang olimpiade Tokyo, sebuah rencana yang digagalkan oleh pandemi COVID-19. Acara kualifikasi tinju dibatalkan dan satuan tugas tinju IOC beralih ke tiga turnamen pada 2018 dan 2019, ketika Bujold hamil atau pasca-persalinan dan tidak bertanding.
Bujold dipaksa untuk memperjuangkan tempatnya di luar ring, menghadapi badan internasional tinju di pengadilan.
Beberapa minggu sebelum pertandingan dimulai, Bujold menang dengan keputusan dari Pengadilan Arbitrase Olahraga, sebuah badan internasional di Swiss, yang mengatakan akomodasi harus dibuat untuk wanita yang sedang hamil atau melahirkan selama periode kualifikasi.
“Mimpi Olimpiade saya masih utuh,” ucapnya, dikutip BBC. “Itu adalah salah satu pertarungan terbesar dalam karier saya, tetapi juga pertarungan yang paling berarti.”
Namun, para advokat mengatakan, pertarungan pra-Olimpiade Bujold adalah bukti nyata dari kesenjangan gender.
“Olahraga telah dibangun, dirancang, dan diorganisir untuk peserta pria,” ujar Cheryl Cooky, profesor studi gender di Universitas Purdue dan editor Sociology of Sport Journal.
Ketika pengecualian dibuat, “itu dianggap sebagai akomodasi ‘khusus'”, cara lain untuk mengatakan bahwa olahraga wanita “kurang” daripada pria, katanya.
BERUBAH-UBAH TENTANG MENYUSUI
Sebagai bagian dari pengamanan COVID-19 Olimpiade, IOC melarang semua anggota keluarga atlet bepergian ke Tokyo.
Bagi Kim Gaucher, seorang pemain bola basket Kanada, aturan itu berarti pilihan antara Olimpiade ketiganya atau bayi perempuannya.
“Saat ini saya dipaksa untuk memutuskan antara menjadi ibu menyusui dan atlet Olimpiade, saya tidak bisa memiliki keduanya,” tutur Gaucher dalam sebuah video yang diposting ke Instagram pada Juni, dilansir dari BBC.
IOC awalnya menolak permohonan resmi Gaucher, dengan mengatakan tidak mungkin “orang yang tidak terakreditasi dari luar negeri” akan diizinkan untuk hadir.
Penyelenggara Tokyo mengubah langkah tiga minggu menjelang Olimpiade, menyusul permohonan video Gaucher dan tekanan publik yang meningkat.
“Itu tidak bisa diterima. Bayi bukan penggemar, mereka bukan ‘orang yang tidak terakreditasi’, mereka anak-anak dengan kebutuhan,” tegas Nicole M LaVoi, direktur Tucker Center for Research on Girls and Women in Sport di University of Minnesota. “Anda tidak bisa mengklaim menghargai dan menghormati wanita dan memberikan lip service dan kemudian salah langkah seperti ini.”
Baik LaVoi maupun Cooky mengatakan, insiden seperti ini menempatkan tanda bintang di samping olahraga wanita, memperkuat gagasan bahwa lapangan tidak benar-benar dimaksudkan untuk mereka.
KETIDAKSEIMBANGAN GENDER IOC
Walau IOC telah menjadikan kesetaraan gender sebagai prioritas bagi para atlet Olimpiade, standar tersebut belum diterapkan oleh IOC sendiri.
Perempuan mencakup 33,3% dari dewan eksekutif, dan 37,5% dari anggota komite secara keseluruhan adalah perempuan.
“Kami belum pernah memiliki seorang wanita sebagai Presiden IOC,” ujar LaVoi kepada BBC. “Itu jadi bukti.”
Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa orang yang bertanggung jawab telah merusak pesan komitmen IOC terhadap kesetaraan gender.
Pada Februari, Presiden Komite Penyelenggara Olimpiade Tokyo diganti setelah berkomentar di depan umum bahwa wanita terlalu banyak berbicara dalam pertemuan. Satu bulan kemudian, direktur kreatif upacara pembukaan Olimpiade mengundurkan diri, setelah terungkap bahwa dia telah mengejek perancang busana ukuran plus untuk penampilannya.
Minggu ini, presiden Komite Olimpiade Australia John Coates memicu kritik menyusul percakapan aneh dengan perdana menteri Queensland Annastacia Palaszuck, di mana Coates memerintahkan Palaszuck untuk menghadiri upacara pembukaan.
Para advokat mengatakan bahwa selama IOC tetap didominasi laki-laki, atlet perempuan akan dirugikan.
Sementara itu, kemajuan gender di Olimpiade akan menjadi tidak stabil, dirusak oleh jenis tantangan yang dihadapi oleh Mandy Bujold dan Kim Gaucher, dilansir dari BBC.
- Source : www.matamatapolitik.com