Dokter Muda Bunuh Diri Gegara Dirundung Senior, IDI Harus Bongkar Sampai Tuntas!
Indonesia dalam kondisi krisis tenaga kesehatan. Sudah 100 orang lebih dokter yang meninggal akibat COVID-19. Dengan meninggalnya para dokter yang rata-rata senior ini jelas ke depannya akan berpengaruh dalam hal kebutuhan layanan ke masyarakat apalagi peningkatan jumlah korban COVID-19 makin meningkat.
Mirisnya justru dalam proses persiapan untuk para dokter apalagi dokter spesialis itu membutuhkan proses yang panjang. Sayangnya ada kabar berhembus yang tak menyenangkan bagi kita dan khususnya para dokter yunior saat ini.
Fakta menunjukkan bahwa ‘bullying’ atau perundungan kepada dokter dan tenaga kesehatan muda di Tanah Air beberapa kali muncul di medsos dan jadi bahan pembicaraan.
Menyedihkan, umumnya pelaku adalah oknum dokter senior atau pemangku otoritas di instansi setempat. Media melansir bahwa ‘bullying’ yang dilakukan berkisar dari kekerasan verbal sampai diperintah membelikan makanan dan minuman mahal untuk dokter konsulen (pembimbing).
Tradisi bullying dan senioritas di kalangan dokter junior itu ibaratnya sudah mendarah daging. Penugasan-penugasan dari oknum senior yang dianggap tidak manusiawi kerap dikeluhkan oleh dokter junior, bahkan terkadang tidak berhubungan dengan praktik profesi.
Bagi sebagian dokter junior, memiliki kedekatan atau bahkan kekerabatan dengan konsulen atau profesor adalah privilege sekaligus menyelamatkan nasib mereka dari korban tradisi bullying tersebut. Menurut pengakuan beberapa dokter junior, rekan dari almamater tertentu juga kerap mendapat kemudahan dibanding dokter dari almamater lainnya.
Lantas bagaimana dengan mereka yang tka memiliki hubungan atau relasi atau bukan almamater dari sang seniornya? Nasib buruk sudah pasti melanda. Alangkah malangnya nasib para yunior yang tak memiliki privilese tersebut!
Miris, dokter muda itu lalu berefleksi dan mengatakan bisa jadi para seniornya itu mengalami perundungan di masa mudanya. Maka model perundungan itu kembali diterapkan dna korbannya akhirnya berjatuhan. Ini sebuah lingkaran horor bukan?
Kabar yang menyedihkan di akhir Agustus lalu adalah seorang mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Bedah Plastik Universitas Airlangga berinisial ABC (28) bunuh diri pada Sabtu (29/8) pekan lalu.
Dia ditemukan ambruk setelah meminum cairan pembersih lantai. Korban sempat dibawa ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya, sayangnya nyawanya tak tertolong. Pihak keluarga meyakini, dia bunuh diri karena tak kuat dirundung seniornya sesama dokter.
Padahal mendiang baru tiga hari memulai stase, sebutan untuk praktik magang dokter muda bedah plastik RSUD dr. Soetomo. Datang pengakuan dari seorang kerabat yang menyatakan bahwa anaknya pun ikut jadi korban perundungan.
“Harus diaudit karena bedah plastik Surabaya senang bullying residen yang junior, mungkin penyebabnya bunuh diri juga bullying. Kalau PPDS itu aset negara, Pak Menkes mudah-mudahan merespons kasus beginian. Suasana bedah plastik di Surabaya tidak sehat sekali. Anak saya, perempuan, 2,5 tahun menjalani PPDS memutuskan mengundurkan diri. Semoga mereka diaudit dan ada perubahan dalam sistem pendidikan terhadap nasib PPDS,” kata kerabat mendiang yang tak disebutkan namanya kepada Liputan Indonesia.
Tapi sayangnya pihak universitas kerap tak bisa berbuat banyak ketika mahasiswanya menjadi korban. Korban perisakan sudah berjatuhan. Butuh tindakan tegas terutama pihak-pihak terkait untuk memberantas budaya sadis yang dilakukan oknum yang gemar memplonco atau menyiksa para yunior.
Pihak Unair dan RSUD dr. Soetomo masih bungkam soal kasus . Rektor Unair Moh. Nasih mengatakan belum bisa bercerita panjang lebar karena yang paham detail kasus adalah rumah sakit. Ia mengaku, Unair belum dikirimi laporan apa pun.
Direktur Pendidikan Profesi dan Penelitian RSUD dr. Soetomo Cita Rosita Sigit seeprtinya lepas tangan. Sang Dirut Joni Wahyunadi berdalih, ada kode etik kedokteran yang membuat informasi kasus ini hanya boleh disampaikan keluarga.
Pihak Unair harusnya memperjuangkan kasus ini karena menyangkut mahasiswanya. Pihak rumah sakit jangan juga melindungi oknum dokter mentang-mentang dokternya itu adalah dokter senior di rumah sakit itu. Pihak IDI juga jangan tinggal diam apalagi itu anggotanya yang senior! Jangan melindungi para oknum anggotamu yang tak punya hati itu, IDI!
Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemdikbud Aris Junaidi mengaku pihaknya sedang menunggu laporan resmi dari Unair sebelum ikut campur. Aris juga menyampaikan bahwa Kemendikbud tengah menggodok permendikbud baru yang di dalamnya mengatur soal kekerasan seksual dan perundungan.
Tapi sayangnya masih dalam penggodokan dan itu kapan keluarnya? Sementara kalau itu digunakan untuk perguaruan tinggi, bagaimana dalam penerapan ketik amahasiswanya magang seperti kasus dokter muda itu yang praktek di rumah sakit?
Memang ada dokter yang mengakui bahwa dia beruntung tak mengalami perundungan. Syukurlah untuk hal itu. Tapi bagaimana dengan dokter-dokter lain yang masih mengalami kondisi buruk yang perundungan yang tiada henti?
Nanti kalau melapor dikira cengeng atau tak tahan mental. Padahal budaya penyiksaan itu jelas sudah melanggar hak asasi seorang dokter dan siapun apalagi di dalam dunia pendidikan termasuk mendiang dalam proses yang sama sebenarnya.
Buat keluarga mendiang, kiranya diberi penghiburan. Buat para tenaga medis yang masih muda, moga kalian tetap tabah dan penulis berharap budaya bengis dengan perundungan ini bisa dibongkar habis sampai tuntas!
- Source : seword.com