“Tingkat Kematian Dibawah 0,2%” Studi Stanford Buktikan Berita Pandemi Covid-19 Terlalu Dibesar-Besarkan Bagian 2
Alih-alih mengakui bahwa studi yang dilakukan para ilmuwan Stanford University sebagai pandangan penting dalam memahami Covid-10 sekaligus “tamparan” terhadap histeria publik akan pandemi Covid-19, majalah MIT Tech Review justru membumbui artikel mereka sedemikian rupa hingga terkesan memojokkan tim dari Stanford yang melakukan penelitian ini.
Salah satu headline dalam majalan mereka bahkan memuat subtitle “A study from a noted pandemic skeptic suggests the virus is more widespread but less deadly than people think.”
Tak berhenti sampai di situ, MIT Tech Review juga menyebut data yang dikumpulkan John Loannidis, salah satu penggagas studi, dalam studi ini “ragu-ragu” (skeptic).
Lebih lanjut, MIT Tech Review menuliskan:
“Loannidis, salah satu ahli statistik medis Stanford sekaligus salah satu peneliti studi, pada bulan Maret lalu menggegerkan publik dengan mengatakan bahwa virus corona tak semematikan yang orang-orang pikir.”
Padahal, tanpa adanya pernyataan dari Loannidis mengenai Covid-19, publik bisa melihat sendiri fakta yang ada dengan melihat data statistic jumlah kasus terinfeksi Covid-19 yang tersedia (meski terbatas) terhadap tingkat kematian dan demografi terparahnya.
Dan jika Anda jeli, sebenarnya temuan studi para ilmuwan Stanford ini sudah dapat diprediksi.
Lainnya, dalam sebuah artikel kantor berita RT berjudul “How likely are you (yes, you) to die from the Covid-19 virus?,” yang diterbitkan sekitar satu bulan yang lalu juga memprediksikan hal serupa seperti temuan studi Stanford:
“Jika krisis ini berakhir, tingkat kematian total Covid-19 yang sebenarnya akan jauh lebih rendah dari yang dilaporkan (saat ini). Pasalnya, banyak orang yang terinfeksi virusnya, namun hanya menunjukkan gejala ringan dan tidak memiliki kesempatan untuk melakukan tesnya.”
Temuan studi para ilmuwan Stanford dan artikel kantor berita RT juga didukung oleh pernyataan Jeremy Samuel Faust, seorang dokter di Brigham and Women’s Hospital, yang mengatakan seiring berjalannya waktu, tingkat kematian Covid-19 tidak akan semenakutkan sekarang lantaran tingkat kematian yang sebenaranya akan jauh lebih rendah dari yang dilaporkan saat ini.
Well, masuk akal. Tingkat infeksi dan kematian memang hanya bisa ditentukan dengan tepat dengan cara memeriksa orangnya.
Oleh karena itu, bisa dikatakan laporan yang selama ini dibagikan kepada (masyarakat) dunia masih belum tepat dikarenakan faktanya jumlah alat tes Covid-19 yang tersedia sekarang masih kurang sedangkan mereka yang diperiksa memang sudah lebih dahulu sakit (komplikasi) dan menunjukkan gejala.
Jadi jelas sudah, jika memang mereka yang menunjukkan gejala ringan atau bahkan tanpa gejala berjumlah lebih banyak dan tidak berkesempatan melakukan tes, tentu keberadaan mereka tidak akan masuk dalam data statistik Covid-19. Buntutnya, tingkat kematian Covid-19 menjadi (seolah-olah) tinggi.
Namun, jika ada lebih banyak orang yang berkesempatan dapat tes Covid-19 dan endingnya berhasil sembuh, tentu tingkat kematian yang diberitakan saat ini akan turun drastis.
Selain kantor berita RT, kantor berita lainnya, The Guardian, dalam artikelnya berjudul “Antibody study suggests coronavirus is far more widespread than previously thought,” juga mengatakan:
“Studi dari Stanford University yang memeriksa sampel 3.330 orang di Santa Clara menemukan bahwa virus corona jauh lebih common dari yang selama ini diberitakan. Itu berarti tingkat kematian akibat virus ini juga tidak semengerikan seperti yang mulanya diperkirakan. Sementara itu, pada hari Selasa, tingkat kematian virus corona di AS dilaporkan berada di angka 4,1%. Padahal, menurut hasil temuan para peneliti di Stanford tingkat kematian akibat Covid-19 hanya berkisar antara 0,12 % sampai 0,2%”.
- Source : www.globalresearch.ca