Hukuman Mati, Mudah Terucap, Sulit Terealisasi, Ini Sebabnya
Wacana tentang hukuman mati bagi koruptor, muncul ketika seorang siswa kelas 12 Jurusan Tata Boga SMK 57, Harley Hermansyah, menanyakan ketegasan pemerintah dalam memberantas korupsi.
"Kenapa negara kita mengatasi korupsi tidak terlalu tegas? Kenapa tidak berani seperti di negara maju misalnya dihukum mati?" kata Harley.
Lantas apa jawaban Jokowi? Saya coba rangkum agar tidak terlalu panjang. Untuk versi lengkapnya dapat dilihat di bagian referensi.
Pertama, hukuman mati dapat dilakukan bila korupsi dalam kondisi bencana alam.
Kedua, untuk korupsi di luar bencana alam, dapat dilakukan hukuman mati dengan catatan bila rakyat berhekendak (menjadikannya sebagai Undang-Undang).
"Tapi sekali lagi juga termasuk kehendak yang ada di legislatif (DPR)," ujar Jokowi.
Lantas bagaimana penjelasannya? Perlu kita ketahui bahwa ketentuan ini sudah ada UU-nya, yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Bahwa hukuman mati dapat dilakukan bila tindak pidana tersebut dilakukan, pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Namun faktanya? Terdakwa kasus korupsi "fee project" dana rehabilitasi pasca gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat, Muhir, divonis dua tahun penjara, denda Rp 50 juta subsidair dua bulan kurungan.
Sudenom, Kepala Dinas Pendidikan NTB, divonis pidana dua tahun dan delapan bulan penjara dengan denda Rp 50 juta subsider dua bulan kurungan.
Kasus korupsi delapan proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Tahun Anggaran 2017-2018 di Kementerian PUPR. Kasus proyek pembangunan tempat penampungan korban (shelter) tsunami di Pandeglang, Banten. Kasus dugaan pungutan liar (Pungli) proses pengembalian jenazah korban tsunami.
Serta masih banyak lagi kasus-kasus lainnya. Semuanya tidak satu pun yang mendapatkan hukuman mati, hukumannya pun rata-rata di bawah 5 tahun, malah ada yang cuma dihukum 1,5 tahun saja.
Jangankan untuk korupsi yang terkait bencana alam, untuk korupsi dalam kondisi normal saja banyak hambatan yang mengganjal.
Lihat saja kelakuan Mahkamah Agung (MA) yang memiliki hobi memangkas hukuman bagi terdakwa kasus korupsi. Sepanjang 2007 hingga 2018, setidaknya ada 101 narapidana kasus korupsi dibebaskan oleh MA.
Yang terbaru, Mahkamah Agung (MA) tidak saja membebaskan 7 terdakwa kasus pembobolan Bank Mandiri senilai Rp 1,8 triliun pada 4 Oktober 2019 yang lalu. MA bahkan meringankan hukuman untuk koruptor Idrus Marham yang sebelumnya divonis 5 tahun menjadi 2 tahun.
Malah terdakwa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Syafruddin Arsyad Temenggung, divonis bebas oleh MA dalam proses kasasi. Padahal nilai kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp 4,58 triliun.
Secara umum, hingga Oktober 2019, ada 275 terpidana mati dalam berbagai kasus, yakni 68 pembunuhan, 90 narkotika, 8 perampokan, terorisme 1, 1 pencurian,1 kesusilaan, dan pidana lainnya 105. Tidak ada satu pun yang dari tindak pidana korupsi.
Padahal Korupsi, Terorisme dan Narkoba, ketiganya digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Bila untuk yang sudah ada landasan hukumnya saja, tidak mampu diterapkan. Bagaimana dengan yang masih belum ada landasannya?
Apakah cukup dengan kehendak rakyat saja? Apakah kehendak rakyat mampu mendorong wakil rakyat yang duduk menjadi anggota dewan untuk menelurkan UU hukuman mati bagi para koruptor, sementara DPR/DPRD justru merupakan sarang bagi para koruptor itu sendiri?
Jadi tidak heran bila Jokowi menekankan kata-kata. "Tapi sekali lagi juga termasuk kehendak yang ada di legislatif (DPR),"
Yang bisa kita terjemahkan menjadi, A. Legislatif adalah pembuat UU B. Seberapa besar tekad anggota legislatif membasmi korupsi? C. Beranikah mereka menelurkan UU hukuman mati bagi para koruptor manakala UU tersebut justru berpotensi menjerat rekan sesama anggota dewan atau bahkan diri mereka sendiri?
Saya meragukannya.
Jokowi sebagai executive, hanya bisa mendorong. Namun selama anggota legislatif masih dihiasi dengan wajah-wajah lama, wajah-wajah tua yang tidak memiliki idealisme lagi atau wajah-wajah yang cuma 4D (datang, duduk, dengkur, duit). Selama itu pula wacana UU hukuman mati hanya akan tetap menjadi rencana yang tidak kunjung menjadi nyata.
Referensi
- Source : seword.com