Menariknya Tawaran Terobosan Tentang BPJS dalam Raker di Komisi IX DPR Bersama Menkes
Gagasan Menteri Kesehatan atas kisruh kenaikan iuran BPJS, boleh jadi menjadi terobosan menarik. Kita bayangkan, jika Dr. Terawan berhasil melunakkan pemegang profesi kesehatan untuk kembali kepada orientasi sosial mereka, niscaya akan cukup berarti dalam meningkatkan kepedulian pemegang profesi kedokteran, terapis atau bidang kesehatan lainnya.
Lebih menarik lagi, rencananya untuk menggugah andil lebih besar dari Setneg untuk membantu beban kerja Kementeriannya. Sebenarnya melibatkan MenSekneg ini masih abu-abu, apakah dalam program-program lain pun Kementerian yang dipimpin Pratikno ini memegang peran dominan?
Sebagaimana kita biasa dengar, yang sering terjadi komunikasi dengan Kemenkes adalah Menteri Keuangan, karena tentu saja kaitannya dengan anggaran subsidi. Namun barangkali Menkes memiliki cara tersendiri disamping melakukan pendekatan dengan Menkeu. Dan mudah-mudahan saja gagasannya yang satu ini bukan disebabkan kekurangmengertiannya soal prosedur koordinasi antar entitas di kabinet.
Dalam hal membahas tarif INA-CBG, tampaknya ada kontradiksi antara tarif yang sedang berlaku dengan tujuan rencana pembicaraan Menkes tadi. Bisa jadi ketika pemegang profesi kesehatan berunding, yang terjadi justru permintaan penyesuaian tarif ke atas, artinya berlawanan dengan harapan Menkes sendiri.
“Ada permasalahan dalam pengendalian biaya dan di sisi lain rendahnya tarif INA-CBG (Indonesia Case Base Groups),” kata Luthfi Mardiansyah, Chairman Center for Healthcare Policy and Reform Studies (CHAPTERS) dalam siaran persnya, Selasa (10/4, sumber : Tribune-news online).
Di sisi lain, jika memang Menkes menghendaki adanya penyesuaian tarif INA-CBG, sehingga profesi kesehatan dianggap sebagai mengedepankan fungsi sosial, tampaknya perlu ada perbedaan perlakuan antara penerapan tarif bagi kalangan ekonomi menengan ke bawah, dengan kepada kalangan yang lebih mampu.
Pendekatan lebih fair seperti itu adalah pilihan moderat, karena bagaimana pun profesi dokter atau yang lainnya, akan merasa tidak dihargai dengan selayaknya, jika mereka harus mengalah kepada pengguna jasa mereka, yang sangat mungkin mampu melakukan pengobatan ke luar negeri. Apalagi jika tarif tersebut diketahui oleh kalangan asing, sementara pemerintah akan menetapkan pendekatan sosial bagi tarif yang akan diberlakukan.
Cukup moderat bagi pemilik profesi kesehatan, untuk membedakan tarif kepada pengguna BPJS kelas paling rendah, dibanding kelas di atasnya. Namun perlu juga pemerintah mengajak berbicara dengan penyelenggara asuransi kesehatan di luar BPJS. Bisa saja mereka akan keberatan, kalau BPJS melakukan penyelarasan yang berpotensi tersedotnya nasabah mereka dan lebih tertarik menjadi nasabah BPJS.
Ada hal yang cukup rumit jika asuransi ini pendekatannya murni sebagai pendekatan sosial. Bagaimanapun perlu ada perlakuan yang berbeda bagi kalangan menengah ke bawah, meskipun bukan berarti mereka justru dibedakan secara kualitatif. Ada hal yang perlu dibuat standarisasi, karena dengan menetapkan tarif rendah bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah, bukan berarti pelayanan kepada mereka pun jadi berkualitas rendah pula.
Mungkin kita perlu membandingkannya dengan jasa transportasi baik udara maupun darat. Kepada pengguna kelas ekonomi dan bisnis atau eksekutif, mereka tetap menikmati waktu perjalanan yang sama, tidak membuat yang satu lebih cepat dari yang lain. Namun hanya dalam segmen pelayanan tertentu saja mereka dibedakan.
Demikian juga untuk membedakan pengguna BPJS kelas menengah ke bawah, bisa dibedakan hanya dalam jenis ruang perawatan, produk farmasi atau kelas rumah sakit. Tentu saja penyelenggara asuransi harus berbicara secara detil dengan penyedia jasa kesehatan tersebut. Misalnya dengan difasilitasi oleh pemerintah, ada pendekatan tertentu sehingga terjadi saling menguntungkan.
Pihak penyedia jasa bisa menerapkan subsidi silang kepada pasien kelas bawah, sehingga secara keseluruhan mereka masih mampu menyelaraskan biaya operasional dengan tarif yang mereka nikmati. Pemerintah sendiri perlu melakukan audit kepada setiap rumah sakit atau penyedia jasa lainnya.
Dengan tingkat penggunaan jasa yang sangat tinggi, dikhawtirkan kualitas pelanan mereka pun tidak terjaga, dan kasus-kasus seperti ini sangat sering kita hadapi. Para pengguna tentu tidak harus dikorbankan demi terpenuhinya target jumlah pelayanan tertentu, sementara kualitasnya justru tidak memadai.
Pembicaraan Kemenkes dengan komunitas profesi dan entitas jasa kesehatan, perlu mematangkan kesepakatan tentang kualitas pelayanan ini, karena konsekwensi penurunan kualitas, bisa jadi diterima oleh pengguna jasa, seiring penurunan tarif yang ditetapkan oleh pemerintah, sementara bagi kalangan atas, akan menikmati pelayanan jauh lebih baik, semata-mata karena tarifnya yang lebih tinggi.
Kesimpulannya, subsidi silang antara kedua kelas pelayanan, perlu dibicarakan secara matang, karena bagaimanapun, pemasukan yang dinikmati penyedia jasa pasti porsinya jauh lebih besar yang berasal dari kalangan bawah.
- Source : seword.com