Terkait Pembunuhan Khashoggi, Arab Saudi Pastikan Kasus Ini Takkan Memicu Krisis Minyak
Menteri energi Saudi pada hari Senin mengatakan, tak akan ada embargo minyak seperti yang pernah terjadi di tahun 1973 silam lantaran kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi yang terjadi di gedung konsulat Istanbul naik ke permukaan.
Pada hari Jumat lalu, untuk pertama kalinya Arab Saudi mengakui bahwa Khashoggi telah dibunuh agen Saudi.
Pengakuan ini sendiri terucap setelah AS terus mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap Arab Saudi.
Sebelumnya, beberapa pihak juga sempat menuduh Mohammed bin Salman sebagai otak pembunuhan Khashoggi. Kendati demikian, sang putra mahkota langsung menyangkal tuduhan tersebut.
Sementara itu, spekulasi mengenai sanksi apa yang sekiranya dijatuhkan ke Arab Saudi telah mencuatkan pertanyaan tentang kemungkinan terulangnya krisis minyak seperti yang pernah terjadi di tahun 1973.
Saat itu, OPEC memproklamasikan embargo minyak terhadap negara-negara yang mendukung Israel selama Perang Yom Kippur berlangsung. Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jepang dan Belanda adalah negara pertama yang dikenakan sanksi ini.
Selanjutnya, embargo minyak ini kian meluas hingga ke Afrika Selatan, Rhodesia dan Portugal.
Dampaknya, harga minyak mentah dan bbm melonjak tajam yang dalam jangka waktu panjang beresiko mengganggu ekonomi global.
“Tidak ada niatan (mengulang embargo minyak),” ujar Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falif kepada kantor berita TASS ketika ditanya apakah pihak kerajaan akan melakukan embargo minyak seperti pada tahun 1973.
“Kasus ini akan berlalu. Untuk diketahui, selama berpuluh-puluh tahun Arab Saudi hanya menggunakan kebijakan minyaknya sebagai alat ekonomi dan sama sekali tak dilibatkan dalam ranah politik,” al-Fatih mengatakan.
“Peran saya sebagai menteri energi adalah untuk menjalankan peran pemerintahan Arab Saudi sebagai pihak yang membantu menstabilkan pasar energi dunia dan ikut berkontribusi dalam perkembangan ekonomi dunia.”
Sementara itu, menjelang sanksi AS pada Iran yang akan segera diberlakukan dan kemungkinan penjatuhan sanksi pada Arab Saudi, para analis mengatakan bisa saja harnya minyak melonjak menjadi USD 100 per barelnya.
“Saya tak bisa memberikan jaminan, pasalnya saya tak bisa memprediksi apa yang akan terjadi pada pemasok lainnya,” ujar al-Fatih, ketika ditanya apakah pasar minyak dapat memastikan harga minyak per barelnya tidak melonjak hingga tiga digit.
- Source : www.rt.com