Gaza dan Israel tegang sementara kerusuhan bergejolak di Tepi Barat
Dihantam dalam serangan udara Israel dalam perang Gaza pada tahun 2014, rumah Mohammed baru-baru ini dibangun kembali namun ia tetap tidak gentar terhadap bentrokan lainnya dengan negara Yahudi.
“Saya tidak takut pada Israel,” ujarnya yang berumur 35 tahun dan memiliki enam orang anak sambil duduk di atas bantal lantai di rumahnya di kawasan Zeitoun di Kota Gaza, anak-anaknya sesekali mengintip dari pintu.
Anggota dari Front kiri Pembebasan Demokratik Palestina (DFLP) mengatakan persiapan bagi perang lainnya termasuk membangun kembali terowongan-terowongan serangan yang telah dihancurkan oleh Israel dua tahun yang lalu.
Sementara gelombang penusukan, penembakan dan penabrakan mobil Palestina telah mengguncang Tepi Barat dan Israel, situasi di Jalur Gaza relatif tenang.
Namun retorika yang semakin agresif baik dari Israel dan Hamas, kelompok Islam yang memerintah Gaza, bersama dengan rekonstruksi terowongan yang dikatakan oleh Israel bahwa ini dapat digunakan untuk menyerang pihaknya, telah memicu kekhawatiran atas konflik lain di wilayah ini yang masih belum pulih sepenuhnya dari peperangan tahun 2014.
Sekitar 100.000 warga masih mengungsi dan tingkat pengangguran masih menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.
Sebuah blokade Israel telah berada di wilayah ini selama hampir satu dekade, secara ketat membatasi pergerakan baran dan 1,8 juta warga Gaza.
Di luar itu, sebuah ketegangan radikal Islam yang lebih telah berakar, dengan Hamas yang berusaha untuk membatasi pengaruh dari para jihadis Salafi yang bersimpati dengan kelompok ISIS dan yang telah mengaku bertanggung jawab atas serangan roket baru-baru ini terhadap Israel.
Semua ini sangat menyangkut mereka yang terlibat dalam pembangunan kembali Jalur Gaza.
Robert Piper, wakil koordinator khusus dari PBB untuk proses perdamaian Timur Tengah mengatakan kepada Afp setelah kunjungannya baru-baru ini bahwa “Gaza tetap pada jalur bencana atas penghancuran dan radikalisasi, sejauh yang saya tahu.”
PAHLAWAN BAWAH TANAH
Runtuhnya terowongan milik sayap bersenjata Hamas (Brigade Ezzedine al-Qassam) yang mematikan pada tanggal 26 Januari, serta yang lainnya pada tanggal 2 Februari menarik pengawasan baru atas niat dari pergerakan tersebut.
Terowongan-terowongan tersebut telah digunakan untuk menyimpan senjata dan melakukan serangan-serangan di masa lalu, dengan para pejabat Hamas mengatakan bahwa terowongan-terowongan ini dibutuhkan untuk berlindung dari serangan Israel.
Pada tahun 2006, sekelompok militan memasuki Israel melalui sebuah terowongan, menangkap Gilad Shalit dari angkatan bersenjata Israel dan menyelundupkannya kembali ke Gaza, dan hasilnya adalah pertukaran antara dirinya dengan lebih dari 1.000 warga Palestina yang keluar dari penjara-penjara Israel lima tahun kemudian.
Runtuhnya terowongan bulan lalu yang menewaskan tujuh militan Hamas dipuji sebagai pahlawan, dengan pemimpin Hamas, Ismail Haniya, di daerah itu memberikan sambutan pada pemakaman mereka di masjid utama kota Gaza.
“Di bagian timur Kota Gaza, para pahlawan bawah tanah membangun terowongan-terowongan” di sepanjang perbatasan Isreal, sementara di bagian barat mereka “menguji coba roket-roket setiap harinya,” kata Haniya.
Seorang pejabat Hamas kemudian menyebutkan bahwa terowongan ini adalah “terowongan-terowongan defensif untuk melindungi rakyat kami dalam menghadapi setiap agresi Israel.”
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menanggapinya dengan ancamannya sendiri.
“Jika kami diserang dari terowongan-terowongan dari Jalur Gaza, kami akan mengambil tindakan yang sangat kuat terhadap Hamas, lebih kuat dari tahun 2014,” katanya.
Kekerasan-kekerasan ini telah menewaskan 26 warga Israel dan 164 warga Palestina sejak bulan Oktober tahun lalu.
Sebagian besar warga Palestina tewas saat melakukan serangan, sementara lainnya ditembak mati dalam bentrokan-bentrokan dan aksi demonstrasi.
Sementara aksi-aksi unjuk rasa yang mengandung kekerasan pecah di sepanjang perbatasan Gaza, dengan sejumlah warga Gaza ditembak mati oleh pasukan Israel selama bentrokan terjadi.
Beberapa analis mengatakan bahwa Hamas akan lebih memilih untuk membangun Gaza kembali daripada harus menghadapi perang lainnya.
Namun Hamas tetap tidak bisa bertahan di pinggiran selama apa yang banyak disebutkan warga Palestina sebagai “intifada” yang baru, atau pemberontakan di Tepi Barat.
‘DIMULAI DENGAN BATU’
Hamas juga harus bersaing dengan tekanan dari Salafi, meskipun ancaman dari kelompok ini masih terbatas.
Di antara jalan-jalan sempit kamp pengungsi Shati di dekat garis pantai Gaza, seorang pria yang mengaku memimpin sebuah kelompok Salafi mengatakan bahwa ia merencanakan akan pergi ke Suriah atau Irak untuk bertempur bersama dengan ISIS.
Memiliki jenggot tebal dan mengenakan jaket hijau, ia mengatakan kepada AFP ia percaya bahwa Islam versi Hamas tidak cukup murni dan bahwa ia adalah di antara mereka yang telah berpisah dari Al-Qassam untuk bergabung dengan para Salafis.
“Para jihadis kami harus memiliki agama Allah di darat,” katanya.
Militan ini mengatakan bawha para Salafists telah menembakkan roket ke Israel dengan tujuan untuk menentang gencatan senjata yang mengakhiri perang tahun 2014, dan balas dendam atas penangkapan anggotanya oleh Hamas.
Hamas mengatakan telah menangkap sekitar 100 orang dari mereka tahun lalu.
Namun bagi mereka seperti Mohammed, warga Gaza yang akhirnya dapat pulang ke rumah, musuh sebenarnya adalah Israel.
Ia mengatakan bahwa ia menerima sebuah panggilan peringatan dari militer Israel sebelum rumahnya diserang pada tahun 2014, yang memberikan ia dan keluarganya hanya beberapa menit untuk melarikan diri.
“Kami memulainya menggunakan batu,” katanya menantang, mengacu pada intifada pertama selama tahun 1987-1993. “Sekarang kami memiliki roket-roket. Selama Israel tetap berada di tanah saya, perlawanan akan terus berlannjut.”
- Source : www.al-monitor.com