Mesir mengumumkan kesepakatan untuk membuka kembali penyebrangan Rafah
Azzam al-Ahmad, seorang anggota Komite Sentral Fatah, mengatakan dalam sebuah pernyataan pers pada tanggal 8 November bahwa sebuah kesepakatan telah tercapai dengan Mesir untuk membuka kembali penyebrangan Rafah dalam beberapa hari ke depan bagi para penumpang dan barang-barang sesuai dengan aturan baru. Hal ini menimbulkan pertanyaan kalangan pejabat Hamas, ketika gerakan tersebut mengendalikan penyebrangan dan telah berulang kali menegaskan tidak akan menyerahkannya kepada Otoritas Palestina (PA) kecuali termasuk dalam manajemen penyebrangan tersebut.
Sementara itu, pemerintah Mesir telah menutup total penyebrangan tersebut sejak bulan Juli 2013 mengingat ketegangan di Semenanjung Sinai, membukanya hanya untuk beberapa hari untuk memberikan jalan bagi kasus-kasus kemanusiaan. Hal ini dikonfirmasikan oleh website Kementerian Interior, yang melaporkan bahwa sejak awal tahun 2014, penyebrangan tersebut hanya buka selama 19 hari.
Dalam pernyataannya, Ahmad mengatakan bahwa perjanjian tersebut memerlukan pemberian prioritas perjalanan bagi pelajar, orang sakit dan mereka yang bekerja di luar negeri yang mempunyai visa perjalanan atau izin tinggal yang dikeluarkan oleh negara-negara lain. Perjalanan dari penduduk asli akan menjadi sebuah “pertimbangan oleh pihak Mesir” mengacu pada situasi keamanan di Sinai utara, dekat perbatasan dengan Jalur Gaza.
Namun, Ahmad tidak menyebutkan apa-apa tentang cara menerapkan perjanjian tersebut mengingat bahwa Hamas terus mengendalikan penyebrangan Rafah.
Masalah mengenai penyebrangan Rafah terletak pada sebuah kenyataan bahwa orang-orang Mesir menolak berurusan dengan Hamas dalam mengelola penyebrangan tersebut, yang menuntut agar pengelolaannya hanya diberikan kepada PA. Duta Besar Mesir untuk PA, Wael Attia menegaskan hal ini pada tanggal 4 Maret, ketika ia menyatakan, “Pembukaan penyebrangan-penyebrangan di Gaza, terutama yang di Rafah akan terwujud hanya ketika pengelolaannya diserahkan kepada kepresidenan Palestina.” Ia menekankan bahwa berurusan dengan pihak lainnya (Hamas), akan terjadi hanya dalam konteks rekonsiliasi saja.
Namun, Yousef Rizqa, seorang pemimpin Hamas dan penasihat mantan Perdana Menteri Gaza Ismail Haniyeh, mengatakan kepada Al-Monitor, “Hamas mendengar tentang kesepakatan tersebut hanya dalam berita saja. Fatah tidak mengundang untuk membahas pembukaan kembali atas penyebrangan tersebut.”
Sebagai prasyarat untuk menyerahkannya kepada PA, Hamas menuntut bahwa pihaknya dimasukkan dalam pengelolaan penyebrangan Rafah. Dalam hal ini, Rizqa mengatakan kepada Al-Monitor, “Hamas menyambut kehadiran PA di penyebrangan Rafah. Namun dalam pengelolaannya harus sesuai dengan prinsip-prinsip kemitraan administrasi, yang disepakati dalam perjanjian rekonsiliasi pada bulan April 2014.”
Ia menambahkan, “Hamas berusaha untuk memecahkan masalah yang dihasilkan dari perbedaan dalam Palestina secara sekaligus, yang disepakati pada saat perundingan rekonsiliasi Palestina, menolak selektivitas dalam melaksanakan perjanjian rekonsiliasi tersebut.”
Seorang pemimpin politik Fatah menegaskan pernyataan Ahmad, dan mengatakan kepada Al-Monitor tanpa ingin disebutkan namanya, “Abbas membahas mekanisme untuk membuka kembali penyebrangan Rafah dengan Mesir. Tapi, jika kondisi-kondisinya tidak terpenuhi, Hamas akan menolak untuk menyerahkan kendali atas penyebrangan tersebut kepada PA. Kondisi-kondisi yang disebutkan termasuk memungkinkan kehadiran atas 60 karyawan Hamas, yang akan mengambil bagian dalam pengelolaan penyebrangan tersebut, selain menerima jaminan Mesir untuk memberikan para pemimpin Hamas jalur yang tidak dibatasi dari dan ke Jalur Gaza, serta pencairan dari gaji yang dipotong kepada para karyawan Hamas.”
Sepanjang kekuasaannya dari Jalur Gaza antara tahun 2007 dan 2014, Hamas mempekerjakan sekitar 42.000 karyawan, yang kini menjalani kondisi hidup yang mengerikan, sebagai akibat dari konsensus pemerintah yang gagal mencairkan gaji mereka sejak pembentukannya pada tahun 2014.
Dalam konteks ini, sumber dari Fatah tersebut berpendapat bahwa syarat yang ditentukan oleh Hamas merupakan sebuah hambatan yang nyata atas pembukaan kembali penyebrangan Rafah, karena Mesir menolak untuk berurusan dengan Hamas, dan satu-satunya solusi yang tersedia adalah untuk menyerahkan penyebrangan tersebut tanpa syarat.
Mengenai permintaan Hamas agar mereka diikutsertakan dalam konsultasi untuk membuka penyebrangan tersebut, sumber dari Fatah mengatakan, “Sebuah kesepakatan telah dicapai dan sebuah pemerintahan rekonsiliasi telah dibentuk untuk memerintah Gaza. Mengapa kemudian konsultasi tersebut harus diadakan dengan Hamas mengenai hal tersebut?”
Di sisi lain, Jamil Mezher, seorang anggota dari biro politik Front Palestina untuk Pembebasan Palestina mengatakan bahwa masalah penyebrangan Rafah adalah salah satu kendala utama atas pelaksanaan perjanjian rekonsiliasi.
Ia mengatakan kepada Al-Monitor, “Sebagai langkah selanjutnya, Hamas harus menyerahkan penyebrangan tersebut ke pemerintah konsensus dan Presiden Mahmoud Abbas, untuk melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk membukanya kembali. Secara paralel, pemerintah konsensus sepenuhnya harus menunjukkan peran dan tanggung jawabnya, sambil berusaha mencari solusi atas masalah-masalah di Gaza – yang mana paling penting adalah masalah gaji para karyawan Gaza.
Sementara itu, analis politik Hassan Abdo mengatakan kepada Al-Monitor, “Hamas merasa dirugikan, karena sebuah akibat dari kegagalan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dengan Fatah dalam perjanjian secara komprehensif, yang mengarah kepada penolakannya untuk menyerahkan penyebrangan Rafah. Perjanjian rekonsiliasi tersebut menetapkan pembentukan pemerintah konsensus yang akan mengambil kendali langsung atas Gaza. Namun pemerintahan yang dimaksud ingin memerintah Gaza tanpa menyelesaikan setiap masaha – di mana yang paling penting adalah masalah gaji para karyawan Gaza yang ditunjuk oleh Hamas sejak tahun 2007.”
Di sisi lain, Abdo juga meragukan perjanjian antara PA dan Mesir untuk membuka kembali penyebrangan Rafah akan mengakhiri penutupan yang berulang-ulang. Ia menambahkan, “Sebuah elemen penting harus diselesaikan sebelum tetap membukanya bagi warga Palestina – yaitu, pemulihan keamanan di Sinai di mana insiden-insiden sering terjadi yang menyebabkan penutupannya.”
Terlepas dari kenyataan bahwa membuka kembali penyebrangan Rafah adalah sebuah kebutuhan kemanusiaan bagi warga Gaza, penyebrangan tersebut tetap menjadi pertimbangan politik yang terkait dengan faksi-faksi yang bertikai: Hamas dan Fatah. Perjanjian apa pun untuk membuka kembali penyebrangan tersebut akan gagal karena tidak adanya kesepakatan antara kedua belah pihak dalam hal tersebut.
- Source : www.al-monitor.com