www.zejournal.mobi
Rabu, 27 November 2024

Surplus Fiskal atau Surplus Pendapatan?

Penulis : Publica News | Editor : Anty | Selasa, 16 Agustus 2022 10:30

REDAKSI Kompas pada 13 Agustus 2022 menurunkan editorial bertajuk 'Surplus Fiskal'. Pada kesempatan itu Redaksi Kompas berharap agar Pemerintah memanfaatkan surplus fiskal tersebut untuk sektor yang mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, bernilai tambah, dan memberi lapangan kerja berkualitas. Di sektor pangan, misalnya, selain subsidi pupuk, pemerintah juga perlu mempermudah investasi agrobisnis hulu dan hilir pertanian. Infrastruktur, seperti waduk dan jaringan irigasi, diperbanyak untuk mengantisipasi perubahan iklim, yaitu mengendalikan banjir, menjadi tandon air pada saat musim kemarau, pembangkit listrik, pariwisata, perikanan, serta pengairan tanaman pangan dan sumber air baku rumah tangga.

Timbul pertanyaan, benarkah APBN kita TA 2022 ini berpotensi mengalami surplus fiskal? Kalau iya seperti editorial Kompas tersebut, patut ditulis dengan tinta emas karena telah mencatat sejarah baru di sektor keuangan negara. Betapa tidak, karena sejak awal kemerdekaan APBN NKRI belum pernah sekalipun mengalami surplus. Sepanjang sejarah setelah 77 tahun merdeka, APBN kita selalu defisit, karena memang Pemerintah selalu bertekad untuk menerapkan kebijakan anggaran yang ekspansif agar terus mampu mendorong pertumbuhan ekonomi bersama-sama dengan sektor swasta. Untuk membiayai gap antara pendapatan dan belanja tersebut, Pemerintah selalu menggunakan utang, baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri.

Surplus fiskal itu sendiri mengandung makna, jumlah pendapatan negara dari pajak, bea cukai, dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari berbagai sektor melebihi jumlah seluruh belanja negara baik yang berupa belanja wajib untuk mengelola pemerintahan (operating expenditure/opex) maupun belanja modal (capital expenditure/capex) untuk membangun infrastruktur dan berbagai sarana publik lainnya. Jika pendapatan negara lebih kecil dari opex dan capex, sehingga pemerintah masih harus mencari sumber pembiayaan lain berupa utang seperti yang dilakukan negara kita sejak awal kemerdekaan, maka tidak akan pernah terjadi yang namanya surplus fiskal. Yang terjadi adalah defisit fiskal.

Karena yang terjadi bukan surplus fiskal, maka sudah barang tentu harapan Kompas di atas hanya sebuah asa. Karena Pemerintah akan tetap melaksanakan apa-apa yang telah tercantum dalam UU APBN 2022.

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati dalam rapat bersama Banggar DPR, pada Jumat 1 Juli 2022 menyampaikan bahwa, penerimaan pajak di tahun ini diperkirakan akan mencapai Rp 1.608,1 triliun atau mencapai 108,3 persen dari target terbaru pemerintah sebesar Rp 1.485 triliun. Seperti diketahui, pemerintah telah merubah postur APBN 2022 yang tertuang di dalam Perpres 92/2022. Pemerintah telah mengubah outlook APBN tahun anggaran (TA) 2022, dimana dalam UU APBN 2022, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 1.265 triliun. Target ini kemudian direvisi melalui Perpres 98/2022, menjadi Rp 1.485 triliun atau 16,1 persen lebih tinggi dari target yang ditetapkan semula.

Outlook APBN tahun 2022 akan melewati dari revisi target tersebut. Penerimaan pajak diperkirakan akan mencapai Rp 1.608,1 triliun, atau tumbuh sebesar 25,8 persen dibandingkan tahun lalu. Sebuah capaian yang sangat membanggakan ditengah-tengah berhembusnya kekhawatiran terjadinya resesi global karena dipicu oleh Amerika yang mengalami resesi secara teknikal dan didera inflasi lebih dari 9 persen atau tertinggi dalam 40 tahun terakhir.

Surplus pendapatan yang dinikmati Pemerintah saat ini antara lain dampak positif dari meningkatnya harga-harga komoditas ekspor kita di pasar global. Meningkatnya permintaan banyak negara terhadap batubara dan minyak kelapa sawit dari Indonesia, akibat pecahnya perang Rusia vs Ukraina benar-benar bagaikan durian runtuh (windfall revenue) yang seyogyanya dimanfaatkan dengan penuh bijak untuk kesejahteraan rakyat. Surplus pendapatan pajak, bea cukai dan PNBP ini berdampak positif terhadap penurunan secara tajam pembiayaan yang berasal dari penarikan utang, yaitu dari rencana semula sebesar Rp 943,7 triliun menjadi hanya Rp 757,6 triliun, atau berkurang mencapai Rp 186,1 triliun. Dengan demikian, keseimbangan primer APBN 2022 diharapkan mencatatkan kondisi yang positif sebesar Rp 259,7 triliun. Ini merupakan keseimbangan primer yang sangat besar dan pertama kali dalam empat tahun terakhir.

Keseimbangan primer adalah selisih dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang.

Meski outlook APBN 2022 terlihat sangat menggembirakan, namun di balik itu terdapat ancaman membengkaknya subsidi BBM yang harus menjadi perhatian bersama. Diperkirakan subsidi tersebut akan melampaui anggaran yang telah dialokasikan dalam APBN sebesar Rp 502,4 triliun. Alokasi anggaran sebesar lebih dari setengah kuadriliun rupiah itu sudah memperhitungkan harga minyak mentah Indonesia USD 100 per barel, serta asumsi kebutuhan pertalite 23,05 juta kiloliter dan solar 14,91 juta kiloliter sampai akhir tahun.

Menurut catatan Pertamina, konsumsi Pertalite, sampai akhir Juni 2022 sudah mencapai 15,9 juta kilo liter, atau 69 persen dari kuota yang sudah ditetapkan. Sedangkan untuk jenis Solar bersubsidi sudah mencapai 8,3 juta kilo liter, atau 55,67 persen dari kuota yang ditetapkan. Sudah barang tentu, sisa kuota yang ada tidak akan mencukupi sampai akhir tahun. Pemerintah bersama Pertamina harus segera melakukan sesuatu. Menambah jumlah kuota yang berarti jumlah subsidi semakin membengkak yang berpotensi jebolnya APBN, atau menaikkan harga Pertalite dan Solar yang berarti akan mengerek inflasi. Dua-duanya bukan pilihan yang terbaik.

Agar windfall revenue yang diperkirakan mencapai lebih dari Rp 186 triliun itu benar-benar dapat bermanfaat untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, maka harus ada pilihan ketiga, yaitu membatasi konsumsi Pertalite dan Solar hanya untuk kalangan tertentu, sehingga subsidi yang digelontorkan APBN tidak sia-sia karena ikut dinikmati oleh mereka yang tidak layak menerima subsidi. Pemilik mobil pribadi apapun merk, jenis/tipe, kapasitas mesin maupun tahun pembuatan harus ditetapkan sebagai tidak layak menerima subsidi.

Dengan demikian, Pertalite dan Solar harganya tidak perlu dinaikkan dan itu berarti tidak akan mengerek inflasi. Di sisi lain, keharusan mobil-mobil pribadi menggunakan BBM non-subsidi dapat mendorong semakin banyak kalangan pekerja yang semula menggunakan kendaraan pribadi untuk aktivitas kesehariannya, akan beralih menggunakan transportasi umum terutama angkutan masal (kereta api, busway, MRT maupun LRT) yang hemat bahan bakar. Pengurangan jumlah kendaraan pribadi yang berlalu-lalang di jalanan juga mengurangi emisi karbon yang telah menjadi komitmen pemerintah untuk menerapkan Zero Sink Carbon pada tahun 2030.

Pemerintah harus berani mengambil kebijakan yang tidak populer ini, karena kalau tidak, maka surplus pendapatan sebesar Rp 186 triliun lebih tersebut akan habis dibakar di jalan-jalan. Itu berarti Pemerintah tidak amanah karena tidak menggunakan surplus pendapatan tersebut untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.***

Depok, 14 Agustus 2022

Muhardi Karijanto, SE. MM
Pemerhati Kebijakan Publik,
Sekretaris Jenderal DPP NINJA


Berita Lainnya :


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar