Kerugian Negara Kasus Asabri Memancing DO Hakim Mulyono, Hitungan Harus Faktual!
Saat ini kasus Asabri tengah memasuki masa akhir yakni menunggu vonis akhir hakim. Adanya kejanggalan kasus ini semakin mencuat setelah salah satu anggota Majelis Hakim, Mulyono Dwi Purwantoro mengajukan dissenting opinion. Pasalnya kerugian negara sebesar 22 triliun lebih yang jadi dasar menghukum para terdakwa ternyata masih potensial alias belum pasti. Nyatanya audit BPK justru menjadi tanda tanya besar. Darimana hitungan kerugian selama belasan tahun?
Bukannya BPK sebagai lembaga audit milik negara bertugas mengaudit semua perusahaan BUMN tiap tahun. Kalaupun ada dugaan mark up sebelumnya, harusnya ditanyakan juga apakah hanya kesalahan direksi semata atau justru ada kongkalingkong dengan BPK. Atau justru kesalahan baru-baru ini dari audit orang baru BPK? Karena diketahui asal muasal kasus ini ada dari laporan Rini yang ditengarahi ingin cari muka ke presiden jelang akhir jabatannya.
Sebagai perusahaan investasi, direksi dan manajemen Jiwasraya dan Asabri tentunya memutar otak agar perusahaannya jalan dan memberi keuntungan. Karena tidak mungkin mereka hanya menyimpan uang nasabah saja. Apalagi setelah sekian tahun pasti terjadi inflasi nilai mata uang. Disinilah upaya mencari untung lewat pembelian saham dilakukan. Anehnya keuntungan bertahun-tahun ke dua perusahaan ini tak diperhitungkan, justru hanya mengambil data saat saham dengan jatuh lalu mengklaim adanya kerugian negara puluhan triliun.
Makanya jangan heran saat kasus Jiwasraya diusut di pengadilan, justru sahamnya diberitakan media kontan naik besar-besaran. Namun, nasi sudah jadi bubur, BPK dan Kejaksaan sudah terlanjur ngaco saat menerima Rini dan malah Kejaksaan ingin dianggap sebagai pahlawan lantaran mengusut korupsi besar. Tuntutan hukuman mati ke salah satu terdakwa disertai ganti rugi dengan jumlah fantastis sangat menyayat logika.
Bahkan baru pertema kalinya ada pengusutan kasus korupsi yang luar biasa janggal. Sampai-sampai banyak pakar hukum berkomentar keras. Karena total korupsi yang disebut bahkan jauh di atas kasus e KTP. Guru Besar Hukum Pidana UNAIR, Nur Basuki menyebut kasus korupsi Asabri menyalahi aturan MK yang menyebut jika kerugian negara yang disebut harus faktual, bukan kerugian potensial.
Dirinya menegaskan bahwa jangan sampai kerugian yang aslinya 5 milyar malah dihitung 5 triliun. Ujung-ujungnya bukan menegakkan keadilan, malah mendzolimi terdakwa dengan membebankan kerugian negara yang belum pasti adanya. Di lain pihak, ada nama Bakrie yang disebut ngemplang repo senilai 3 triliun yang hingga kini tak pernah dipanggil sebagai saksi dalam kasus Jiwasraya. Kalau ternyata hanya dua tiga orang pihak luar yang diseret dari puluhan nama, maka fix mereka yang dituntut berat hingga hukuman mati adalah tumbal dari puluhan nama tersebut.
Dan sudah menjadi rahasia umum jika BPK maupun Kejaksaan sering masuk angin dengan keadilan di muka hukum. Ketua BPK disebut orang dekat Bakrie, sedang Kejaksaan sendiri malah menuntut ringan kasus yang menyeret mantan rekan mereka di kasus Djoko Tjandra. Apakah keadilan di negeri ini sedemikian suramnya. Bahkan dari sekian hakim, cuma satu orang yang berani menyuarakan dissenting opinion terhadap kasus janggal ini.
Sebelumnya diberitakan bahwa Nur Basuki Minarno, Guru Besar Hukum Pidana UNAIR, dissenting opinion (DO) yang dilakukan anggota Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam kasus Asabri sudah tepat dari segi aturan maupun undang-undang (UU). Ini lantaran tidak ditemukannya kerugian negara secara pasti dalam kasus korupsi Asabri. Perhitungan berdasarkan potensial kerugian ujungnya akan membebani terpidana.
Nur Basuki menjelaskan bahwa frasa ‘dapat’ dalam kalimat ‘….dapat merugikan keuangan negara’ dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor telah dinyatakan tidak berlaku oleh MK sehingga kerugian negara haruslah riil, nyata dan pasti. Tidak boleh memasukkan potensial keruagian. Sebelumnya Hakim Mulyono memberikan dissenting opinion karena menilai penghitungan kerugian keuangan negara dalam kasus Asabri oleh BPK tidak konsisten.
Hakim Mulyono mengungkap bahwa BPK mendasarkan perhitungan pada pembelian dana investasi oleh Asabri yang tidak sesuai prosedur dan di lain pihak, BPK tetap menggunakan pengembalian efek yang diterima dari reksadana yang dibeli secara tidak sah dalam perhitungannya. Artinya audit BPK yang jadi landasan Kejaksaan tersebut menggunakan 2 parameter yang berbeda.
Dosen UNAIR ini menambahkan bahwa dissenting opinion Hakim Mulyono penting sebagai catatan bagi pengadilan di atasanya, yaitu pengadilan banding dan pengadilan kasasi. Banding sendiri memiliki pengertian sebagai salah satu upaya hukum yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.
Nantinya para pihak yang keberatan dengan putusan isi putusan Pengadilan Negeri bisa mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan. Sesuai dengan azasnya, dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan Pengadilan Negeri belum dapat dilaksanakan karena belum mempunyai kekuatan hukum yang tepat, kecuali terhadap putusan uit voerbaar bij voeraad.
Semoga saja dengan adanya dissenting opinion sebagai modal pengajuan banding atau kasasi, terpidana yang tak terbukti melakukan pelanggaran bisa diberi keringanan hukuman. Kalau perlu hakim lainnya ikut mendukung dissenting opinion yang jujur ini ketimbang memaksakan vonis pada mereka yang tak bersalah. Kita juga masih menantikan gebrakan baru di Kejaksaan dengan diangkatnya wakil jaksa agung yang baru. Jangan sampai tuntutan yang salah menjadi preseden buruk ke depannya. Juga harapan besar bagi seluruh hakim untuk memutus perkara ini seadil-adilnya.
Referensi:
https://insight.kontan.co.id/news/saham-koleksi-asabri-dan-jiwasraya-naik-gila-gilaan-pekan-lalu
- Source : seword.com