Anies, Ganjar, atau Prabowo di Pilpres 2024: Milenial dan Gen Z Pilih Siapa?
Generasi Milenial dan Gen Z membentuk lebih dari setengah populasi Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Lembaga polling Indikator Politik memperkirakan hampir enam puluh persen pemilih yang memenuhi syarat pada Pilpres 2024 akan berusia di bawah 40 tahun. Angka itu menunjukkan peningkatan besar dari empat puluh persen pada Pilpres 2019.
Survei terhadap 1.200 anak muda berusia 17-21 tahun di seluruh negeri yang dirilis pada Maret 2021 oleh lembaga tersebut memberikan gambaran sekilas tentang preferensi politik kelompok demografi tersebut, The Conversation melaporkan.
Dalam jajak pendapat Indikator Politik, sejumlah pemimpin politik muncul sebagai calon presiden terdepan. Mereka adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Partai oposisi Gerindra dan Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P) yang berkuasa memimpin daftar partai politik dengan selisih yang cukup lebar.
Luthfi T. Dzulfikar dalam laporannya di The Conversation berbicara dengan dua ilmuwan politik untuk lebih memahami preferensi politik kaum muda saat Indonesia perlahan-lahan bersiap untuk Pilpres 2024.
GERINDRA TAPI BUKAN PRABOWO
Di antara nama-nama yang memimpin di bursa calon presiden adalah kepala daerah seperti Anies Baswedan (15,2 persen) dan Ganjar Pranowo (13,7 persen). Di sisi lain, meski partainya menduduki puncak survei, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, yang gagal mencalonkan diri sebagai presiden dalam dua pemilu terakhir, menyusul di posisi kelima dengan 9,5 persen.
Berbeda dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, sistem dan budaya politik Indonesia lebih menekankan pada tokoh dan pemimpin daripada loyalitas kepada partai politik tertentu.
Muhammad Fajar yang mempelajari gerakan politik di Universitas Gadjah Mada (UGM) mengemukakan sikap ini mungkin lebih terlihat di kalangan anak muda daripada masyarakat umum.
The Conversation mencatat, dalam beberapa jajak pendapat nasional yang disurvei terhadap masyarakat umum, Partai Gerindra maupun Prabowo sama-sama diunggulkan pada Pilpres 2024. Dalam survei Indikator Politik terhadap anak muda, hanya partainya yang dipilih.
Studi pada 2018 oleh ilmuwan politik Dirk Tomsa di Universitas La Trobe, Australia, dan Charlotte Setijadi di Singapore Management University menunjukkan tren kecenderungan atas tokoh daripada partai ini mungkin disebabkan oleh peningkatan aktivisme politik yang berpusat pada kepribadian yang diprakarsai oleh kaum muda dalam dekade terakhir.
“Menggunakan Pilgub Jakarta 2012 yang melibatkan Jokowi dan Ahok sebagai titik awal studi, mereka mengamati munculnya kelompok-kelompok sukarelawan yang dipimpin oleh pemuda,” kata Fajar. “Sepertinya ada bentuk baru gerakan pemuda yang lebih condong ke figur ketimbang partai. Gerakan semacam ini mengambil alih fungsi partai politik seperti mobilisasi massa dan penggalangan dana.”
Selain itu, Fajar menyebutkan anak muda mungkin sudah bosan dengan tokoh politik veteran seperti Prabowo, Mereka sekarang mungkin mencari kandidat dengan rekam jejak pelayanan publik yang baik, bukan sekadar popularitas.
“Jika kita jujur tentang ini, Prabowo telah memasuki arena politik selama bertahun-tahun dan dia sudah mengincar kursi presiden dalam tiga pilpres terakhir. Sekarang, beberapa pihak mungkin cenderung ingin melihat rekam jejak kandidat potensial. Anies memiliki program seperti Gerakan Indonesia Mengajar, mungkin beberapa anak muda melihatnya sebagai warisan positif.”
TIDAK PUAS DENGAN KUALITAS DEMOKRASI NEGARA?
Dalam survei Indikator Politik, dua pilihan utama kaum muda untuk partai politik adalah Gerindra (16 persen) dan PDI-P (14,2 persen). Partai Golkar yang berakar kuat di era Orde Baru yang otoriter di Indonesia telah tertinggal jauh di urutan ketiga, meskipun hingga 43,8 persen responden tidak menjawab.
Terlepas dari tingginya jumlah responden abstain, ilmuwan pemilihan umum Universitas Binus Ella Prihatini mengatakan hasilnya mungkin mencerminkan ketidaksetujuan anak muda terhadap pemerintah yang telah melakukan pekerjaan yang buruk dalam mempertahankan tradisi demokrasi negara.
Misalnya, dalam survei yang sama, sekitar 40 persen anak muda merasa demokrasi Indonesia telah menurun selama beberapa tahun terakhir. Persentase itu lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar 27,8 persen.
“Secara matematis, Golkar bukanlah pilihan utama karena mungkin masih dianggap negatif sebagai sisa-sisa Orde Baru. Partai Demokrat masih berkutat dengan masalah internal dan tidak terlalu baik mengelolanya,” ujar Ella.
Ella juga mencatat sejumlah masalah dengan parpol lain.
“Partai Nasional Demokrat (NasDem) juga sangat berafiliasi dengan pemerintah saat ini. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pun tak jauh berbeda. Partai-partai yang jelas-jelas berafiliasi dengan koalisi yang berkuasa sejak awal Pilpres 2019 semuanya akan ‘dihukum’ dengan cara kurang disukai karena dianggap telah membuat Indonesia kurang demokratis.”
“Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memiliki tradisi politik yang sangat menitikberatkan pada kader dari jajarannya, yang mungkin bisa mematikan generasi muda. Akibatnya, mungkin itulah mengapa Gerindra muncul sebagai salah satu dari sedikit pilihan yang tersisa.”
KEBEBASAN SIPIL DI BAWAH SOROTAN
Mengenai preferensi masalah sosial politik, menurut laporan The Conversation, survei Indikator Politik menunjukkan tingkat polarisasi di kalangan pemuda Indonesia dalam beberapa aspek. Anak muda terbagi rata ketika ditanya apakah mereka keberatan memilih pemimpin non-Muslim sebagai wali kota, gubernur, atau presiden, dengan sekitar 30 persen masing-masing untuk tanggapan “ya” dan “tidak”.
Di sisi lain, hanya 16,4 persen pemuda Muslim yang keberatan dengan umat non-Muslim membangun tempat ibadah di lingkungan mereka, yang jauh lebih rendah dari rata-rata nasional sebesar 52 persen.
“Kita bisa melihat di sini, mungkin kita tidak memiliki gambaran yang lengkap tentang anak muda. Hasilnya mungkin mewakili preferensi politik dari dua kubu yang berbeda, berdasarkan kesenjangan politik yang tajam di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir,” tukas Fajar.
Namun, secara umum, Fajar melihat adanya peningkatan signifikan dalam perhatian yang diberikan pada isu-isu yang berkaitan dengan hak-hak sipil, mulai dari kebebasan berbicara hingga kesetaraan gender, terutama sejak era Reformasi pada 1998.
“Jika kita perhatikan aksi unjuk rasa 2019 yang memprotes usulan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), isu yang muncul terkait dengan hak-hak sipil. Meskipun ada isu-isu lain yang berkaitan dengan ekonomi, mayoritas adalah isu-isu yang belum banyak didengar selama periode awal gerakan ‘98.”
“Misalnya, ada dukungan terhadap usulan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) terkait kesetaraan gender serta lainnya terkait hak minoritas dan rasisme. Mereka tampaknya menjadi masalah yang sulit dibayangkan selama gerakan ‘98 dan mewakili peningkatan yang signifikan.”
Mayoritas anak muda yang disurvei (57,3 persen), misalnya, mendukung proposal untuk merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang kontroversial, yang sering digunakan untuk membungkam para pembangkang.
“Ada gelombang dukungan yang kuat bagi pemerintah untuk merevisi undang-undang itu sehingga orang dapat bebas berbicara. Angka 60 persen itu ialah angka yang serius,” tandas Ella. “Jika pemerintah ingin mendapatkan kembali kepercayaan politik rakyatnya, ini adalah sesuatu yang perlu diperhatikan.”
KEKUATAN POLITIK ATAU SEKADAR DEMOGRAFIK?
Meski nama-nama yang muncul dalam survei di atas sebagian besar adalah politisi muda, Fajar mengingatkan tidak ada jaminan mereka akan memperjuangkan agenda anak muda jika terpilih menjadi presiden. “Apa yang harus terus diperdebatkan adalah apakah tokoh seperti Anies atau Sandiaga, atau bahkan politisi lain yang dianggap muda, benar-benar mewakili aspirasi anak muda.”
Studi pada 2020 dari University of Melbourne di Australia, misalnya, berpendapat pemerintah Indonesia sejauh ini sebagian besar berfokus pada penduduk muda negara ini menjadi sukses sambil mengabaikan kesenjangan ekonomi, sosial, dan politik yang luas di dalam kelompok itu, The Conversation melaporkan.
Menurut Fajar, sampai kaum muda dapat memiliki kekuatan politik yang berpengaruh dan formal untuk mendorong agenda mereka melalui pemerintah, mereka hanya akan menjadi konstituen atau target demografik, sama halnya dengan kelompok lain seperti perempuan atau pekerja kerah biru.
“Wacana atau citra yang saat ini sedang dibangun mengenai anak muda memiliki peran besar sebagai agen perubahan atau apa pun, saya melihatnya hanya sebagai permainan elite untuk menarik mereka sebagai pemilih,” kata Fajar.
Ilmuwan pemilihan umum Universitas Binus Ella Prihatini menegaskan pemerintah Indonesia harus mengatasi ini di tahun-tahun mendatang dengan melayani lebih baik kebutuhan sosial, ekonomi, dan politik kaum muda untuk membantu mencegah mereka menjadi apolitis.
“Orang-orang yang apolitis kemungkinan besar akan abstain dari pemungutan suara atau bahkan enggan berpartisipasi dalam diskusi. Kita tidak boleh membiarkan generasi berikutnya menjadi apolitis. Bagaimana masa depan Indonesia kelak jika hal itu terjadi?”
- Source : www.matamatapolitik.com