Usaha Terakhir Selamatkan Hutan Papua Barat
Tinjauan pemerintah telah mengidentifikasi kawasan hutan yang sangat luas di Provinsi Papua Barat di Indonesia, yang telah dialokasikan untuk perkebunan kelapa sawit tetapi masih dapat diselamatkan.
Menjaga kawasan hutan ini berpotensi mencegah pelepasan gas rumah kaca yang setara dengan dua perlima dari total emisi tahunan Indonesia, menurut para ahli, jika pemegang konsesi dapat dibuat untuk melepaskan kepemilikan mereka atas lahan tersebut, lapor Mongabay.
Sebanyak 24 perusahaan kelapa sawit menguasai 576.090 hektar lahan gabungan di Papua Barat, di mana 383.431 hektar (sebuah area dua setengah kali luas London) adalah hutan utuh. Peninjauan pemerintah yang baru-baru ini dilakukan terhadap pemegang izin kelapa sawit telah menetapkan, kawasan ini tetap tidak tersentuh karena sejumlah pelanggaran administratif dan hukum oleh perusahaan, yang mencegah mereka membuka hutan dan mulai membudidayakan kelapa sawit.
Kawasan hutan ini menyimpan sekitar 185,5 juta ton karbondioksida di atas permukaan tanah, menurut Arief Wijaya, manajer senior iklim dan hutan dari lembaga wadah pemikir World Resources Institute (WRI) Indonesia. Itu setara dengan hampir 40 persen dari total emisi Indonesia dalam satu tahun.
“Menyelamatkan 383.000 hektar hutan utuh di Papua ini penting dalam mengurangi emisi,” terang Arief kepada Mongabay. “Jika bisa dilakukan, maka bisa memperkuat pencapaian pengurangan deforestasi, target iklim kita, serta mendukung komitmen pemerintah Papua Barat dalam melestarikan 70% wilayahnya.”
Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan menggemakan perlunya menyelamatkan hutan.
“Kami akan dorong agar lahan-lahan yang berpotensi diselamatkan berdasarkan hasil peninjauan izin ini, dikelola oleh masyarakat adat dengan prinsip kelestarian,” ujarnya seperti dikutip media setempat.
MENGAMBIL KEMBALI TANAHNYA
Peninjauan izin baru-baru ini (yang dilakukan oleh pemerintah Papua Barat bekerja sama dengan badan antikorupsi nasional, atau KPK) menemukan, 13 dari 24 pemegang konsesi belum mulai beroperasi di lapangan. Ditemukan sebagian besar perusahaan melanggar undang-undang dan peraturan tentang perizinan dan pajak, antara lain.
Temuan ini sejalan dengan audit pemerintah 2019 terhadap industri kelapa sawit, yang menemukan lebih dari 80 persen perkebunan di Indonesia (produsen sawit terbesar di dunia) melanggar berbagai peraturan, seperti melanggar batas kawasan lindung dan tidak mematuhi standar keberlanjutan nasional.
Dalam kasus konsesi Papua Barat, pelanggaran perusahaan memberi otoritas lokal pengaruh untuk memenangkan kembali kendali atas konsesi dan mencegah pembukaan kembali.
Beberapa perusahaan telah menyatakan kesediaan mereka untuk melepaskan total konsesi mereka sebesar 52.151 hektar, menurut Benidiktus Hery Wijayanto, Kepala Dinas Pertanian Provinsi Papua Barat.
“Jadi ada pernyataan tertulis resmi dari kepala perusahaan untuk mengembalikan (konsesi) kepada negara karena berbagai alasan,” tuturnya kepada Mongabay. “Mungkin karena konsesinya terhambat, atau secara ekonomi tidak memungkinkan untuk terus (mengolah area tersebut).”
Kemudian ada 224.044 hektar konsesi, termasuk 162.940 hektar hutan, di mana perusahaan tidak memiliki apa yang dikenal sebagai izin hak guna usaha, atau HGU, yang terakhir dari serangkaian lisensi yang harus diperoleh perusahaan kelapa sawit sebelum diizinkan untuk mulai menanam.
Karena perusahaan tidak dapat membudidayakannya secara legal, kawasan ini secara efektif menjadi “konsesi mati”, sehingga pemerintah dapat menuntut perusahaan melepaskannya, terang Benidiktus.
Tapi itu tidak mudah, karena banyak dari perusahaan yang tampaknya bertekad untuk mempertahankan lahan untuk mengantisipasi izin HGU, tambah Benidiktus.
“Kami tanyakan satu per satu, dan banyak dari mereka mengatakan masih ingin melanjutkan (mencoba mengembangkan konsesi),” ujarnya. “Tapi ada yang izin lokasinya sudah diperpanjang belum ada kegiatan (penanaman). Jadi kami menilai izin mereka bisa dicabut secara administratif karena tidak ada penanaman sama sekali.”
Bahkan jika perusahaan tidak mau menyerahkan konsesinya, pemerintah akan mengutip temuan pelanggaran dari tinjauan pemerintah baru-baru ini, untuk membenarkan pencabutan izin yang mereka miliki, tambahnya.
“Tentu ini akan menjadi sedikit sulit,” imbuh Benidiktus. “Tapi dalam pertemuan baru-baru ini dengan bupati, mereka mengatakan siap mencabut (izin).”
Jika upaya ini berhasil sepenuhnya, bersama dengan pelepasan sukarela oleh perusahaan, pemerintah provinsi akan dapat mengambil kembali kendali atas 276.196 hektar lahan gabungan, dan mencegah hutan yang tersisa di dalamnya dari pembukaan.
Itu target jangka pendek dalam dua bulan, tutur Benidiktus.
MENARGETKAN PERUSAHAAN YANG MELANGGAR
Ada juga rencana jangka panjang untuk mengejar 11 pemegang konsesi yang memiliki izin HGU. Perusahaan-perusahaan ini memiliki konsesi gabungan 174.845 hektar, di mana sekitar 41 persen telah dibuka dan ditanami kelapa sawit.
Itu masih menyisakan 103.423 hektar tanah asli yang masih berdiri. Benidiktus mengatakan, kawasan ini dapat ditafsirkan sebagai “lahan terlantar” di bawah peraturan perkebunan, yang mengharuskan pemegang konsesi mengolah seluruh wilayah mereka dalam jangka waktu tertentu atau berisiko dicabut izinnya.
Aturan tersebut dimaksudkan untuk mencegah perusahaan memperoleh konsesi untuk keperluan spekulasi tanah.
Para pemegang izin HGU ini juga terlibat dalam pelanggaran lain, seperti gagal mengalokasikan 20 persen dari konsesinya untuk petani kecil, atau menanam sebelum mendapatkan izin HGU. Dalam beberapa kasus, izin konversi hutan yang mengizinkan kawasan hutan untuk dikategorikan untuk perkebunan, dikeluarkan jauh setelah batas waktu.
“Izin konversi hutan seharusnya bisa keluar dalam waktu dua tahun sejak izin prinsip keluar,” ujar Benidiktus kepada Mongabay.
“Ada izin konversi hutan yang dikeluarkan lima tahun setelah itu.”
Beberapa perusahaan juga dapat disebut karena penghindaran pajak, tambahnya. Dari 71.422 hektar konsesi tanaman, perusahaan hanya membayar pajak untuk 18.000 hektar, menurut Benidiktus.
Semua pelanggaran ini, kata dia, menunjukkan cakupan permasalahan yang melanda industri kelapa sawit.
“Bisa dibayangkan, dari lebih dari 500.000 hektar konsesi, yang sudah memiliki izin HGU hanya 170.000 hektar. Yang dikenai pajak hanya 18.000 hektar,” ujarnya. “Apa yang diperoleh negara (dalam pendapatan)?”
Dengan banyaknya penyimpangan dan pelanggaran tersebut, kata dia, ada kemungkinan pemerintah kabupaten bisa mencabut izin perusahaan-perusahaan tersebut, meski akan lebih sulit dibanding perusahaan yang tidak memiliki izin HGU. Untuk skenario ini, pemerintah menunggu satu tahun untuk memenangkan kembali konsesi, sambung Benidiktus.
PENGAWASAN INDUSTRI YANG LEBIH CERMAT
Benediktus menekankan perlunya rencana aksi untuk menentukan apa yang harus dilakukan setelah izin dicabut.
“Kalau izin dicabut oleh pemerintah kabupaten dan kemudian diberikan kepada investor lain, tidak ada salahnya secara hukum, tapi kami tidak ingin jatuh ke dalam lubang yang sama,” ujarnya.
“Seperti apa skema pengelolaan untuk 270.000 hektar konsesi hutan yang akan dikembalikan (kepada negara)? Mereka dapat dikelola sebagai tanah leluhur, desa adat, atau skema perhutanan sosial lainnya.”
Tim peninjau yang dipimpin oleh Pemerintah Papua Barat dan KPK, juga mengeluarkan rekomendasi kepada instansi pemerintah lainnya terkait banyaknya permasalahan di industri kelapa sawit. Benediktus mengatakan, Badan Pertanahan Nasional atau BPN, telah diminta untuk melihat apa yang harus dilakukan dengan konsesi yang belum dikembangkan, sementara kantor pajak diminta untuk meningkatkan pengawasannya terhadap pendapatan negara dari perkebunan.
“Kami akan bekerja sama dengan kantor pajak agar lebih tegas dalam memungut pajak,” ujar Benidiktus.
“Misalnya, perusahaan yang memiliki izin perkebunan seluas 10.000 hektare hanya melaporkan pajak untuk 3.000 hektare. Kantor pajak seharusnya tidak ragu (untuk mengejarnya) karena kami akan memberikan datanya.”
Benidiktus mengatakan, tidak satu pun dari tindakan tersebut yang dimaksudkan untuk merugikan industri kelapa sawit.
“Itu lebih untuk perbaikan manajemen (industri), dan sebenarnya untuk kemaslahatan negara karena penerimaan pajak (saat ini) kurang bagus,” ujarnya.
“Suka atau tidak, kontribusi minyak sawit bagi negara sangat besar.”
MENDAPATKAN DATA YANG SULIT DIPAHAMI
Terlepas dari apakah temuan dari tinjauan izin tersebut ditindaklanjuti dengan tindakan konkret, setidaknya mereka menemukan masalah dan mengungkap data yang sebelumnya terkubur di bawah birokrasi, jelas Benidiktus.
Ia mencontohkan data perizinan HGU yang meliputi detail tata batas lahan, koordinat, luas areal konsesi, serta identitas pemegang izin. Data tersebut sulit dipahami, bahkan untuk kantornya, sebelum proses peninjauan, kata Benidiktus.
“Awalnya tidak mudah mendapatkan data HGU dari BPN. Saat kami bertanya, kami tidak mengerti. Tapi setelah KPK masuk dan mereka menyatukan persepsi kami, semua datanya sudah diserahterimakan (oleh badan pertanahan),” ujarnya.
Tim peninjau juga kesulitan mengumpulkan data lain yang tersebar di berbagai instansi pemerintah, kata Benidiktus.
“Kami harus mengumpulkan semua data perusahaan, baik hard copy maupun soft copy,” ujarnya.
”Kami juga harus mengumpulkan peta dalam format shapefile, tapi ternyata pemerintah kabupaten tidak memilikinya. Mereka hanya memiliki nama perusahaan dan lokasinya, tetapi mereka tidak memiliki detailnya.”
Bahkan mengidentifikasi orang yang bisa dihubungi di setiap perusahaan adalah perjuangan, tambahnya.
“Makanya kami butuh waktu dua tahun (untuk menyelesaikan peninjauan),” tukasnya kepada Mongabay, “karena kami harus mengumpulkan data satu per satu, mulai dari izin lokasi, izin usaha perkebunan, izin konversi hutan, hingga izin HGU.”
- Source : www.matamatapolitik.com