Kebakaran Gedung Kejagung Disengaja, Terbayang Banyaknya Pihak yang Dendam Pada Jaksa
Menarik sekali akhir dari peristiwa kebakaran gedung Kejaksaan Agung yang dirilis oleh media-media nasional Indonesia. Dari olah Tempat Kejadian Perkara atau TKP, disinyalir keras bahwa kebakaran yang terjadi di gedung Kejaksaan Agung adalah satu kesengajaan.
Pernyataan adanya kesengajaan atas terbakarnya gedung Kejaksaan Agung ini diungkapkan oleh Kabareskrim Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo yang menyebut penyebab kebakaran gedung utama Kejaksaan Agung (Kejagung) ada unsur kesengajaan dan direncanakan oleh pihak-pihak yang ingin gedung tersebut terbakar.
Dasar dari pernyataan Kabareskrim Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo ini adalah hasil dari 6 kali dilaksanakannya olah TKP oleh penyidik, Pusinafis dan Puslabfor dengan metode SCI (scientific crime investigation). Kemudian melakukan pemeriksaan rekaman CCTV di TKP dan di sekitar TKP.
Listyo juga mengatakan bahwa telah terjadi dugaan tindak pidana umum karena sengaja membakar gedung utama Kejagung. Maka dari itu pihak kepolisian meningkatkan statusnya ke tingkat penyidikan melalui gelar perkara atau ekspose kasus kebakaran tersebut. Atas dasar hasil olah TKP itu kemudian diterbitkan LP/1595/VIII/2020/PMJ/Res.Jaksel, tanggal 22 Agustus 2020.
Dibakar?? Yakin Pak, gedung Kejaksaan Agung dibakar? Siapa yang membakar? Kenapa membakar gedung Kejaksaan Agung dan tidak membakar gedung Bank Indonesia yang jelas-jelas isinya uang semua? Atau gedung-gedung lain yang kalau dibakar bisa membuat si pembakar kaya raya.
Jujur saya tak habis pikir kalau kebakaran gedung Kejaksaan Agung itu karena sengaja dibakar oleh seseorang. Apa niat dan keuntungan bagi si pembakar? Secara cepat kita bisa saja mengkaitkan antara isi yang ada di dalam gedung Kejaksaan Agung, kepentingan si pembakar dan kejadian di lapangan atas perilaku para Jaksa atau Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang lebih membela terdakwa ketibang korban.
Padahal fungsi dari Jaksa itu adalah mewakili negara dalam melakukan tuntutan di dalam persidangan. Artinya, Jaksa itu mewakili korban dan/atau pelapor. Anehnya, di dalam peraturan Kejaksaan sendiri tidak tertulis adanya kemungkinan pihak korban dan/atau pelapor bisa meminta penggantian Jaksa jika mereka menemukan indikasi adanya "kerjasama" antara JPU dan pihak Tersangka atau Terdakwa.
Kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari dan kasus tuntutan Jaksa yang sangat ringat atas terdakwa kasus penyiraman air keras pada Novel Baswedan adalah 2 kasus nyata dimana Jaksa lebih berpihak pada tersangka dan terdakwa. Di luar dari dua kasus yang saya sebutkan, waaaaah.... bak kebun jamur merang. Mencari Jaksa yang berhati merah putih, yang berdedikasi pada profesi, yang berhati nurani, ibarat mencari jarum di atas tumpukan jerami. Terlebih jika yang berkasus adalah kakap melawan kakap, dimana pihak kakap yang jadi tersangka atau terdakwa akan melakukan manuver hukum dengan cara membeli jaksa jika mereka gagal membeli polisi.
Dari contoh yang saya ungkapkan di atas, jika kita membayangkan atau menduga siapa yang membakar gedung Kejaksaan Agung, jawabannya bisa muncul dari dua belah pihak. Pembakaran bisa dilakukan oleh pihak tersangka atau terdaksa yang kasusnya tidak mau sampai masuk ruang sidang, bisa juga dilakukan oleh pihak korban atau pelapor yang merasa telah menjadi korban dua kali karena Jaksa lebih membela tersangka.
Dan jangan salah, meringkus jaksa nakal itu jauh lebih susah dibandingkan keringkus polisi nakal. Kalau pada tingkat penyidikan, polisi tersinyalir main-main dengan pihak terdakwa, di dalam tubuh polisi ada Propram. Pelapor bisa melaporkan polisi manapun ke Propam dan penindakannya cukup terlihat nyata. Hal ini saya ketahui dari obrolan-obrolan saya dengan banyak polisi. Tapi di tingkat kejaksaan? Memang ada Jaksa Muda Pengawas, berguna atau tidak atas pelaporan yang disampaikan masyarakat, saya tidak tahu. Karena sepengalaman saya bertemu 10 Jaksa baru 2 jaksa yang saya rasakan berhati nurani. Selebih ya abu-abu. Dan tidak ada mekanisme atau prosedur yang menolong masyarakat ketika kasus mereka ditangani oleh Jaksa abu-abu.
Pada kejadian pembakaran gedung Kejaksaan Agung, hal pertama yang diungkapkan ke media adalah bahwa berkas-berkas perkara aman dan tak terbakar, terutama berkas perkara yang penting (baca : perkara kakap). Seperti ada pesan di balik pesan yang disampaikan pada si pembakar bahwa upaya mereka menyabot Kejaksaan telah gagal total.
In any case, sebenarnya dugaan atas kejadian pembakaran gedung Kejaksaan Agung itu sudah bukan rahasia lagi. Banyak masyarakat langsung berkomentar , "Wah ini sih dibakar bukan terbakar". Kejadian ini seharusnya menjadi catatan bagi seluruh jajaran Kejaksaan bahwa kinerja mereka sangat dipertanyakan oleh masyarakat Indonesia, khusunya pihak korban dan pelapor. Kelalaian kejaksaan atas gaya hidup seorang Jaksa yang tidak normal, harus segera dihentikan dan mulailah mendengarkan keluhan pihak korban. Kejaksaan dan Jaksa Jangan besar kepala karena merasa tak ada mekanisme yang bisa mengganggu gugat monopoli Jaksa dalam sebuah perkara.
- Source : seword.com