Studi menemukan kecanduan smartphone dapat merusak otak
Kecanduan pada smartphone dapat menciptakan perubahan zat kimia di otak yang mungkin terkait pada dengan depresi dan kekhawatiran yang dialami remaja, sebuah studi mengatakan.
Para ilmuwan di Universitas Korea menemukan bahwa para remaja yang menggunakan smartphone nya secara terus menerus memiliki angka yang lebih tinggi pada tes standar yang mendeteksi gangguan jiwa. Tes tersebut mengukur seberapa banyak penggunaan internet dan smartphone dapat mempengaruhi rutinitas harian, kehidupan sosial, produktivitas, pola tidur dan perasaan.
Para peneliti baru-baru ini menampilkan penemuan mereka pada pertemuan tahunan Masyarakat Radiologi Amerika Utara.
How smartphone addiction is affecting teenagers' BRAINS
— Healthy News Daily (@eHealthyDaily) November 30, 2017
Korea University in Seoul found that teenagers who are addicted to their smartphones are more likely to suffer from mental disorders, but can be treated with therapy (stock image).
https://t.co/0s7QQNfyRL
Tim tersebut mendokumentasikan tingkatan gamma aminobutyric acid (Gaba), sebuah zat pembawa pesan kimiawi di otak yang memperlambat sinyal otak, dan glutamate-glutamin (Glx) zat neurotransmitter yang menyebabkan sel saraf otak menjadi bersemangat.
Percobaan ini melibatkan 38 remaja dengan usia rata-rata 15,5 tahun, yang mana setengah dari mereka didiagnosa mengalami kecanduan internet atau smartphone, sementara sisanya merupakan kelompok yang sehat tanpa adanya kecanduan.
Dari 19 remaja yang kecanduan terhadap smartphone, 12 diantaranya menerima terapi perilaku kognitif untuk menyembuhkan kecanduan tersebut, yang merupakan bagian dari studi.
Hasilnya menunjukkan para remaja yang mengalami kecanduan smartphone memiliki rasio Gaba-to-Glx lebih tinggi di bagian otaknya yang dikenal dengan korteks cingulate anterior, sebelum dilakukannya terapi, dibandingkan dengan mereka yang berada di kelompok sehat. Korteks cingulate anterior merupakan bagian otak yang melibatkan fungsi eksekutif, proses kognitif dan regulasi emosional.
Kepala studi tersebut, Hyung Suk Seo, seorang profesor neuroradiology di Universitas Korea, menagatakan rasio ini berkorelasi dengan munculnya depresi dan rasa khawatir. Studi ini juga menemukan bahwa rasio Gaba-to-Glx menurun setelah dilakukannya terapi kognitif.
“Meningkatnya tingkat rasio Gaba dan terganggunya keseimbangan antara Gaba dan glutamate di bagian korteks cingulate anterior, berkontribusi pada pemahaman kami tentang patofisiologi dan pengobatan untuk menangani berbagai macam kecanduan,” ujar Dr. Seo.
Tim tersebut juga menemukan bahwa para remaja yang kecanduan memiliki “angka depresi, kekhawatiran, insomnia dan perilaku impulsif yang lebih tinggi.”
“Semakin tinggi angkanya, semakin parah pula kecanduannya,” Dr. Seo menyimpulkan.
Tim dari Universitas Korea itu, di Seoul, mengambil gambar 3D dari otak para peserta dengan menggunakan spektroskopi resonansi magnetic (MRS), untuk mengukur komposisi kimia otak mereka. MRS merupakan tes diagnostif non-invasif yang sering digunakan untuk mendeteksi munculnya tumor. Cara ini berhasil dengan membandingkan komposisi kimia dari jaringan otak yang normal dengan otak yang abnormal.
Para ilmuwan itu mengatakan penelitian lebih lanjut diperluka untuk memahami implikasi klinis dari penemuan mereka, dan menambahkan bahwa tingginya tingkatan Gaba di dalam otak dapat berkaitan dengan “hilangnya fungsional” di beberapa area otak.
Sebuah studi terbaru menemukan 46 persen warga Amerika mengatakan bahwa mereka tak dapat hidup tanpa smartphone mereka, menurut studi yang diakukan olej Pew Research Center.
Para ilmuwan semakin mengamati gangguan pada siklus glutamate/Gaba-glutamin karena adanya berbagai gangguan terkait dengan kondisi neurologis seperti epilepsy, Alzheimer dan autisme.
- Source : www.rt.com