Perancis dalam Kekacauan – kerusuhan dan protes terbesar sejak Revolusi Perancis
Sementara Peraancis bersiap untuk menjadi tuan rumah dua juta pengunjung bagi Kejuaraan Sepak Bola Euro 2016, buruh mogok kerja di kilang minyak dan pembangkit listrik tenaga nuklir; kekurangan bahan bakar melumpuhkan penerbangan dan sistem transportasi umum; demonstrasi kekerasan di jalan-jalan; kerusuhan nasional dan sebuah keadaan darurat sampai akhir bulan Juli untuk menutupi Tour de France telah terbukti membuat Francis Hollande pusing – yang saat ini Presiden Perancis paling tidak populer sejak jajak pendapat dimulai. Aksi-aksi protes ini dikatakan yang terbesar dan terpanjang sejak Revolusi Perancis.
Kerusuhan Serikat Buruh yang Meledak-Ledak Menjatuhkan Perancis ke Dalam Kekacauan
Aksi protes kolaboratif pertama terhadap pemerintahan Hollande yang sosialis ini adalah pada tahun 2012, dimulai pada tanggal 9 Maret. Pada tanggal 31 Maret, hampir 400.000 orang turun ke jalan-jalan, tidak setuju dengan perubahan besar pada UU tenaga kerja; meskipun penyelenggara aksi unjuk rasa ini mengatakan ada 1,2 juta pengunjuk rasa pada saat itu.
Pada tanggal 9 April, sekitar 120.000 orang turun ke jalan di Paris dan seluruh Perancis untuk keenam kalinya, memprotes reformasi tenaga kerja yang diperebutkan. Penyelenggara menyerukan aksi mogok kerja lainnya pada tanggal 28 April, dan protes besar-besaran pada tanggal 1 Mei, Hari Buruh. Laporan-laporan mengenai bentrokan polisi dengan para pengunjuk rasa, menyebarkan gas air mata di beberapa kota Perancis dan para pengunjuk rasa yang membakar kendaraan, menghancurkan jendela dan membanjiri internet.
Dalam tanggapannya, Mendagri Bernard Cazenueve mengatakan di kota Lyon:
“Saya menyerukan kepada para penyelenggara aksi-aksi demonstrasi ini untuk mengutuk dengan ketegasan yang sama dengan yang saya lakukan terhadap kerusuhan yang disebabkan oleh segelintir preman-preman ini.”
Menuntut penarikan UU reformasi rancangan, para pekerja Perancis meningkatkan aksi protes mereka, demonstrasi dan blokade pada minggu ketiga bulan Mei. Sesuai dengan update terbaru, satu dari tiga pompa bensin di seluruh negara tersebut kering, menyebabkan antrian panjang di SPBU yang biasanya terisi dengan baik. Ada blokade di 5 dari 8 kilang minyak Perancis. Hampir 1/5 daya listrik terpotong karena para pekerja yang melakukan aksi mogok kerja. Sejak pasokan listrik nasional telah menurun, pemerintah dipaksa untuk menggali cadangan daruratnya.
Pada tanggal 26 Mei, lebih dari 150.000 orang menentang rencana pemerintah untuk mempermudah perusahaan-perusahaan mempekerjakan dan memecat. Reuters melaporkan:
“Di bagian barat daya kota Bordeaux, sekitar 100 orang menargetkan sebuah kantor polisi, melemparkan benda-benda dan merusak mobil polisi. Di Paris dan di bagian barat kota Nantes, jendela-jendela bank dirusak dan para pengunjuk rasa bentrok dengan polisi. Hari protes besar berikutnya direncanakan pada tanggal 14 Juni (ketika para senator Perancis mulai membahas paket reformasi), empat hari setelah turnamen sepak bola Euro 16 dibuka di Perancis. CGT memperingatkan bahwa turnamen sepak bola ini akan tergagnggu jika pemerintah menolak untuk menarik RUU rancanang reformasi tersebut.”
Meskipun Perdana Menteri Perancis Manuel Valls bersedia untuk mengubah beberapa proposal, serikat pekerja tidak mau mundur. Sangat marah terutama karena pemerintah memberlakukan kekuasaan konstitusional untuk melewatkan parlemen untuk meluluskan RUU tersebut, beberapa serikat ini dipimpin oleh salah satu serikat terbesar di negara tersebut, General Confederation of Labor (atau CGT), menyatakan dalam sebuah surat terbuka:
“Minggu ini, aksi-akasi, pemogokan dan blokade oleh para pekerja dari sejumlah industri untuk menuntut pencabutan RUU tenaga kerja ini dan untuk mendapatkan hak-hak baru menunjukkan bahwa tekad kami tetap utuh.”
Diganggu oleh peringkat kepopuleran yang suram dan pengangguran yang tinggi, Presiden Hollande (yang mempertaruhkan seluruh masa jabatannya bagi peningkatan hidup bagi para pemuda yang berjuang bagi negaranya), mengatakan bawha reformasi tenaga kerja ini sangat penting untuk mengatasi pengangguran. Menteri Tenaga Kerja Myrian El Khomri, juga membela hukum perburuhan baru tersebut yang dijuluki “hukum para bos” oleh lawan-lawannya.
“UU ini sesuai dengan situasi negara kita. Kita memiliki tingkat pengangguran lebih dari 10% sama seperti 20 tahun yang lalu. Ini telah membaik selama bulan lalu, namun ini bukanlah sebuah perubahan besar. Negara kita menciptakan lapangan kerja yang lebih sedikit dari negara-negara Eropa lainnya (antara tahun 2013-2015, 57.000 pekerjaan tersedia di perancis, 482.000 di Jerman, 651.000 di Spanyol dan 288.000 di Italia). Jadi bagi saya dan tujuan reformasi ini adalah untuk dapat meningkatkan akses ke dalam lapangan kerja yang lebih banyak.”
Namun, lawan dari reformasi tenaga kerja mengatakan bahwa UU tersebut akan mengancam hak-hak yang sangat dihargai dan memperdalam ketidakamanan kerja bagi kaum muda dengan membantu perusahaan memecat para staf dengan sewenang-wenang. Henry Samuel dan Raziye Akkoc dari The Telegraf mengamati:
“Pemerintah yakin bahwa UU baru tersebut akan menciptakan ribuan pekerjaan namun IMF, dan oposisi Perancis mengatakan bahwa reformasi tersebut tidak dapat membalikkan catatan pengangguran, yang sekarang berada pada angka 10%, dan hutang publik yang melonjak, yang akan mencapai 98% tahun depan.”
Apa yang Ada di Depan
Ini adalah pertama kalinya pemerintah Sosialis Perancis menghadapi pemberontakan dari serikat buruh nasional sejak lebih dari 30 tahun yang lalu. Oposisi kiri bagi reformasi ini sangat besar, mengancam untuk mengobrak-abrik basis dukungan Hollande sendiri.
The Independent menulis:
“Reformasi yang diusulkan telah memperparah kemarahan banyak orang di dalam Partai Sosialis dan pihak dari sayap kiri yang mereka anggap ini sebagai pengkhianatan. Aksi-aksi protes telah dipimpin oleh para mantan pemimpin Partai Sosialis, dan Martine Aubry, yang telah mengundurkan diri dari semua posisi resminya dalam partai tersebut. Aubry mengeluh bahwa penulisan ulang hukum ketenagakerjaan Perancis yang sejalan dengan dogma pro-pasar ‘liberal’ ini adalah sebuah pengkhianatan.”
Sebuah petisi online terhadap perubahan yang diusulkan telah mengumpulkan lebih dari 1 juta tanda tangan, sebuah rekor di Perancis. Menurut sebuah jajak pendapa baru-baru ini oleh Le Parisien, mayoritas rakyat Perancis mendukung reformasi tenaga kerja tersebut, namun 70% lainnya menentang cara pemerintah melaksanakannya.
Ini akan menjadi sebuah bunuh diri politik bagi Hollande jika ia menggulung kembali reformasi tenaga kerja ini – ia telah berjanji tidak akan mencalonkan diri untuk pemilihan kembali tahun depan kecuali ia berhasil membendung kenaikan jumlah pengangguran. Namun seperti yang dicatat oleh The Guardian, tidak hanya citra politik Hollande yang dipertaruhkan, namun citra Perancis itu sendiri.
- Source : thetruenews.info