Melangkah kembali 1.300 tahun ke masa lampau Istana Ukhaidir di Irak
Benteng Al-Ukhaidir yang dulunya terkenal dan kuat sekarang menjadi tidak terurus dan mulai runtuh. Istana yang besar ini, yang dibangun oleh Pangeran Abbasiyah, Isa bin Musa untuk masa pensiun nya dari dunia politik, mulai runtuh karena kurangnya perawatan. Struktur internal dan eksternal nya runtuh ketika angin kuat padang pasir meniupnya, dan fondasinya telah melemah karena kadar garam telah menyerap ke dalam dinding-dinding nya.
Benteng tersebut, yang dikenal dengan nama istana Abbasiyah Ukhaidir dibangun sekitar tahun 778 sesudah masehi dan berjarak 105 km barat daya dari Baghdad. Menara-menara istana tersebut hampir mencapai ketinggian 21 meter dengan lebarnya yang melebihi 167 meter. Nama Ukhaidir – yang berasal dari kata Akhdar, bahasa Arab untuk warna hijau – bertentangan dengan keadaan di sekitarnya, di mana hanya ada sinar matahari dan membentang luas padang pasir yang berwarna kuning.
Selama kunjungan Al-Monitor ke situs ini, Ahmed Kadhim seorang guru dri Babil yang menemani murid-muridnya pada sebuah perjalanan ke situs tersebut mengatakan, “Para pelajar diajarkan tentang monumen-monumen kuno dan pentingnya melestarikan serta mempertahankan mereka. Namun mereka terkejut bahwa apa yang mereka pelajari tidaklah benar. Benteng kuno tersebut mulai runtuh di depan mata mereka, sementara pihak-pihak terkait belum ikut campur untuk mencegah hilangnya monumen yang paling penting di Irak tengah dan selatan.”
Sementara itu, Irak meminta agar situs tersebut dimasukkan ke dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO.
“Ini adalah sebuah benteng yang besar, di mana seorang penulis dan wisatawan Italia, Pietro Della Valle menulis ketika ia sedang dalam perjalanannya ke Syam pada tahun 1625,” kata Kadhim. “Namun kehancuran tersebut mengharuskan kita sekarang untuk berhati-hati ketika berjalan di sekitarnya. Monumen ini terdiri dari wilayah yang luas, dengan banyak koridor-koridor dan kamar-kamar yang tumpang tindih, dan waduk bawah tanah yang telah rusak. Ini adalah tempat yang berbahaya karena tidak adanya tanda-tanda peringatan.”
Mohyee Massoudi, seorang arkeolog dan sejarawan mengatakan kepada Al-Monitor, “Situasi tidak stabil di Irak. Masalah keamanan, ekonomi dan politik telah menjadi prioritas utama, yang telah menempatkan pemeliharaan dan pelestarian monumen-monumen bersejarah tidak menjadi prioritas bagi pemerintah, bahkan rakyatnya.”
Al-Monitor bertemu dengan Saeed al-Juburi, seorang Badui yang hidup dekat dengan bangunan bersejarah ini, di mana sukunya telah menetap 20 kilometer dari istana Ukhaidir. Ia sedang beristirahat di tempat teduh bersama dengan tiga unta nya setelah melakukan pencarian untuk air dan padang rumput di gurun. Ia mengatakan, “Dalam beberapa tahun terakhir, tempat ini adalah surga bagi para pencuri dan perampok. Istana ini sangat luas di mana mereka dapat dengan mudah bersembunyi di kamar-kamar dan koridor yang gelap.”
Para bandit terkadang berlindung di sana, dan kelompok-kelompok bersenjata mengubahnya menjadi gudang senjata, terutama sebelum negara menyadari pentingnya istana bersejarah tersebut dan sebelum para peneliti serta arkeolog mulai mengunjunginya pada tahun 1625 bersamaan dengan Della Valle. Para bandit juga menggunakan istana tersebut selama sesudah tahun 2003, ketika pasukan AS menyerbu Irak.
Saad Hassan, seorang peneliti arkeologi dari Babil mengatakan kepada Al-Monitor tentang partisipasinya dalam proyek rehabilitasi terbesar atas situs tersebut pada tahun 1975. Ia mengatakan, “Bebatuan yang runtuh telah disingkirkan dan bangunan-bangunannya bersama dengan beberapa sudut istana telah direnovasi. Namun proyek tersebut gagal untuk mencegah runtuhnya dinding-dinding utama.”
Hassan menambahkan, “Pemerintah Irak mendanai proyek tersebut, di mana para pekerja dan ahli Irak turut membantu. Pengerjaan rehabilitasi tersebut memakan waktu enam bulan, di manan dinding-dinding diperbaiki dan fondasinya diperkokoh.”
Tapi ia percaya ahwa “ketika proses pemeliharaan dan restorasi terputus-putus, proyek tersebut menjadi sia-sia.”
Hassan juga mengatakan ia menemani sekelompok tentara AS di Irak dalam sebuah tur pada tahun 2005. “Mereka kagum akan kehebatan bangunan besar yang masih berdiri kokoh. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa jika bangunan ini berada di AS, bangunan tersebut akan berubah menjadi daya tarik bidang wisaya dan menghasilkan banyak uang untuk anggaran nasional,” katanya, menambahkan bahwa tentara AS merasa penasaran untuk melihak kehebatan situs arkeologi Irak.
Ia menambahkan, “Puluhan situs bersejarah di Karbala saja belum termasuk dalam eksplorasi yang dilakukan oleh General Authority for Antiquities and Heritage. Ini karena tidak adanya langkah-langkah keamanan yang memadai untuk mencegah situs-situs ini dari penjarahan. Pada tahun-tahun 1970an dan 1980an, ada proyek-proyek untuk mengubah Benteng Al-Ukhaidir menjadi sebuah objek wisata. Aktivitas sosial dan seni diadakan di sana, dan yang paling penting adalah sebuah festival yang diadakan pada tahun 1972 oleh Academy of Fine Arts di Baghdad.”
Festival-festival tersebut didanai oleh Departemen Kebudayaan di bawah rezim sebelumnya (1969-2003). Tapi sebagian besar festival-festival seni dan budaya dihentikan karena Perang Irak-Iran (1980-1988) dan belum ada festival yang serupa diadakan sejak tahun 2003.
Hassan yakin bahwa “suhu yang ekstrim di tengah padang pasir, kurangnya pemeliharaan, kelembaban dan air dalam tanah telah menyebabkan beberapa dinding istana runtuh.”
“Kelalaian,” kata Mona Ghorabi, seorang anggota komite parlemen Irak untuk bidang pariwisata dan barang antik, mengomentari penyebab kondisi buruk dari situs-situs arkeologi yang berada di negara tersebut. “Situs-situs bersejarah ini tidak hanya mengalami kehancuran oleh ISIS, namun juga karena sikap lalai dari otoritas (politik), bahkan di bawah rezim sebelumnya,” katanya kepada Al-Monitor.
Kelalaian tersebut telah menjadi begitu jelas bahwa ini tidak dapat diabaikan lagi. Jasem Hameed al-Maliki, kepala komite parlemen wisata dan barang antik di Dewan Provinsi Karbala, mengatakan bahwa setahun lalu dana sebesar 1,5 milyar dinar ($1.300.000) dialokasikan untuk merenovasi istana Ukhaidir dan daerah sekitarnya. Anggota parlemen Karbala, Ibtisam al-Hillali mengatakan kepada Al-Monitor, “Pemerintah federal berusaha untuk merehabilitasi situs tersebut setelah kelalaian yang telah berlangsung sejak lama dan dananya telah dialokasikan untuk mengembangkan lokasi tersebut.”
Namun, belum ada proyek rehabilitasi yang dilakukan sejauh ini. Nasib situs tersebut rupanya harus bersandar kepada para warga yang bersedia untutk mengambil tindakan. Faktor alam, yang menyebabkan banyak kerusakan tersebut sulit untuk dikendalikan, namun para relawan dapat mengatur kampanye-kampanye dan menggalang dana untuk memperbaiki apa yang masih dapat diperbaiki. Festival-festival budaya dan seni juga bisa menghasilkan dana bagi situs tersebut.
Kru Al-Monitor mengambil resiko dan meneruskan tur di dalam istana, dalam kamar-kamar, koridor, lorong-lorong gelap, tangga, sumur, gua-gua dan banyak atap-atap yang runtuh. Tidak adanya pemandu wisata dapat dirasakan di situs yang terpencil ini. Berbeda dengan rincian bangunan dalamnya, istana tersebut tampak kokoh dan sederhana dari luar. Meskipun adanya erosi yang menyebabkan runtuhnya pilar-pilar luar dan penyangga di dalam, istana tersebut tetap berdiri dengan ajaib di gurun terpencil.
- Source : www.al-monitor.com