Burden Sharing, Babak Baru Independensi Bank Indonesia
Dinding tebal yang memisahkan Bank Indonesia dengan Pemerintah kini telah diruntuhkan, dan di atas puing-puing reruntuhannya, telah berdiri sebuah bangunan lobi yang lebih kokoh tempat bertemunya Menteri Keuangan (Menkeu), Gubernur Bank Indonesia (BI), Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Lobi itu bernama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang kini memiliki kedudukan hukum yang semakin kuat. Jika dulu, hubungan diantara mereka bersifat koordinasi, maka sejak berlakunya Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, Omnibus Law Sektor Keuangan (UU PPSK) seakan-akan bertransformasi menjadi bersifat subordinasi antara atasan dan bawahan dengan Menteri Keuangan sebagai Ketua Komite paling dominan dalam mengambil kebijakan.
Di awal kelahirannya, Lembaga Koordinasi ini bernama Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) yang dibentuk pada tanggal 30 Desember 2005, berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan Ketua Dewan Komisioner LPS. Sesuai dengan namanya, lembaga ini menjadi forum koordinasi, kerja sama dan pertukaran informasi antara otoritas yang berkepentingan dalam pemeliharaan stabilitas sistem keuangan Indonesia.
Forum ini sangat berperanan terutama ketika menghadapi kondisi yang dapat mengancam ketidakstabilan sistem keuangan dan berdampak sistemik, sehingga penyelesaiannya menuntut kebijakan dan pengambilan keputusan bersama secara efektif dan responsif.
Hubungan sub-ordinasi ini membuka babak baru independensi Bank Indonesia yang sebelumnya diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dimana kedudukan Gubernur Bank Indonesia sebagai pemegang kebijakan moneter terpisah dengan Menteri Keuangan sebagai pemegang kebijakan fiskal. Atau dengan kata lain, Bank Indonesia (BI) sepenuhnya independen terhadap kekuasaan pemerintah. Dimana Gubenur BI memiliki kewenangan penuh merumuskan kebijakan moneter, sedangkan Menteri Keuangan hanya berwenang merumuskan kebijakan fiskal.
Ternyata dalam perjalanan panjang negeri ini, independensi BI tersebut berdampak mempersempit ruang gerak Pemerintah dalam membuat kebijakan yang bersifat komprehensif. Padahal, dalam kondisi terjadi ketidakstabilan keuangan dan moneter, ibarat tidak ada dosis tunggal yang mampu menyembuhkan penyakit, begitu juga dengan penyakit yang menyerang sistem keuangan. Sebuah kebijakan tunggal, baik berupa kebijakan fiskal ataupun moneter, ataupun kebijakan fiskal dan moneter yang diterbitkan dengan pertimbangan masing-masing, justru dapat memperburuk kondisi perekonomian. Hanya dengan bauran kebijakan fiskal dan moneter yang terkoordinasi lah yang mampu menemukan solusi yang paling tepat untuk menuntaskan masalah ekonomi dan keuangan yang terjadi.
Omnibus Law Sektor Keuangan atau UU PPSK yang telah disetujui DPR-RI pada Sidang Paripurna tanggal 15 Desember lalu, dan kini menunggu disahkan Presiden dimaksud, sekaligus merevisi 17 produk hukum berupa Undang-undang di bidang keuangan, Bank Indonesia, perbankan umum, perasuransian, pasar modal/pasar uang, dan perusahaan jasa lembaga keuangan lainnya termasuk koperasi. Dengan disetujuinya Omnibus Law Sektor Keuangan tersebut, merupakan lompatan besar terjadinya reformasi di sektor keuangan.
Reformasi sektor keuangan dimaksud merupakan prasyarat utama untuk membangun perekonomian Indonesia yang lebih dinamis, kokoh, mandiri, sustainable, dan berkeadilan
Kebutuhan reformasi dimaksud, juga muncul seiring timbulnya berbagai risiko baru di sektor keuangan seperti terjadinya pandemi, perubahan geopolitik, kemajuan teknologi dan perubahan iklim maupun dampak resesi global. Dengan demikian momentum reformasi sektor keuangan Indonesia melalui UU PPSK akan menguatkan sistem keuangan dalam menghadapi berbagai skenario global.
Ada 8 pasal yang memuat isu-isu baru dalam UU PPSK dimaksud, diantaranya Pasal 36A yang berbunyi: "Bank Indonesia berwenang untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) berjangka panjang di *pasar perdana* untuk penanganan permasalahan sistem keuangan dalam kondisi krisis yang membahayakan perekonomian nasional."
Pasal ini menarik karena seakan-akan independensi BI memasuki babak baru ikut serta melibatkan diri dalam masalah pembiayaan yang dihadapi pemerintah, meskipun hanya dilakukan jika negara sedang mengalami krisis yang dideklarasikan oleh Presiden, dan berdasarkan keputusan yang diambil KSSK.
Pembelian SBN di pasar perdana yang pernah dilakukan BI, dan merupakan preseden burden sharing atau tanggung renteng, yaitu ketika membiayai penanganan Pandemic Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang diatur dalam Perpu nomor 1 tahun 2020 jo UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan dan Gubernur BI, selama periode 2020 sampai akhir tahun 2022, BI telah membeli SBN di pasar perdana sebesar Rp 974,04 triliun untuk membiayai penanggulangan Pandemic Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional selama 3 tahun berturut-turut. Dana yang dikucurkan BI dimaksud untuk pembiayaan public goods/benefit dan non-public goods/benefit. Pembiayaan public goods/benefit yang menyangkut hajat hidup orang banyak, terdiri dari pembiayaan di bidang kesehatan, perlindungan sosial, serta sektoral kementerian/lembaga (K/L) dan Pemda.
Sedangkan pembiayaan untuk non-public goods/benefit yang menyangkut upaya pemulihan ekonomi dan dunia usaha, terdiri dari pembiayaan untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), Korporasi non-UMKM, dan non-public goods lainnya.
Skema pembelian SBN di pasar perdana oleh BI ini sejatinya adalah identik dengan mencetak uang. Meski demikian tetap dicatat di dalam APBN sebagai sumber pembiayaan yang berasal dari Utang. Pencatatan dilakukan hanya sebagai kolateral yang tidak ada kewajiban Pemerintah untuk membayar utangnya kepada BI.
Skema pembiayaan burden sharing seperti itu juga dipraktekkan di beberapa negara Asia, Eropa, Amerika Latin dan Afrika, yakni: India, Korea Selatan, Thailand, Filipina, Hungaria, Polandia, Rumania, Turkiye, Cile, Meksiko, dan Afrika Selatan. Sedangkan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang melakukan quantitative easing dan monetisasi dari utang pemerintah yang dilakukan secara tidak konvensional, --seperti yang mereka lakukan sejak terjadi krisis pada tahun 2007-2008, untuk mendanai pemulihan ekonomi dalam negeri mereka sebagai dampak Pandemic Covid-19.
Cara Kerja Quantitative Easing, The Fed akan membeli surat utang pemerintah dan instrumen jangka panjang lainnya dari alokasi anggaran tahunan yang sudah ditentukan. Kemudian hasil penjualan government bonds dimaksud disalurkan kepada bank-bank komersial yang ditunjuk. Dengan begitu, bank-bank akan memiliki dana segar, yang nantinya dapat diputarkan kembali dengan bunga yang tetap rendah.
Menyalurkan pinjaman ke dunia usaha dengan tetap mempertahankan bunga rendah bermanfaat agar bank tidak perlu memasang syarat macam-macam kepada nasabah yang mengajukan kredit. Dengan begitu, fungsi intermediasi berlangsung lebih cepat untuk memacu perekonomian, dan manfaatnya pun dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Cara-cara begini hanya efektif dilakukan oleh negara yang memiliki suku bunga acuan hampir 0%. Di luar Amerika Serikat, ada Uni Eropa dan Jepang.
Kembali ke skema burden sharing yang semula berupa diskresi yang dimiliki Gubernur BI sebagai one shoot policy kini telah dipermanenkan dalam Omnibus Law Sektor Keuangan, maka jika suatu ketika nanti di negara terjadi lagi pandemi, perubahan geopolitik, kemajuan teknologi dan perubahan iklim maupun dampak resesi global, yang mengakibatkan ketidakstabilan sistem keuangan, maka kita tidak perlu lagi menerbitkan Perpu seperti yang kita lakukan di saat terjadi resesi ekonomi tahun 1998 ataupun ketika terjadi perlambatan ekonomi sebagai dampak Pandemic Covid-19 yang sampai sekarang masih dalam masa pemulihan ekonomi.
Independensi BI sebenarnya juga tetap terjaga, karena kebijakan membeli atau tidak membeli SBN di pasar perdana tetap berada di tangan Gubernur BI, meski kedepan jika sistem keuangan negara dinyatakan dalam keadaan terancam atau krisis oleh Presiden, maka keputusan KSSK akan menjadi acuan Gubernur BI untuk berkompromi dengan pemerintah membeli SBN di pasar perdana sebagai bentuk burden sharing dalam memulihkan kondisi perekonomian negara.
- Source : www.publica-news.com