Bunker Taiwan: Ruang untuk Kehidupan, Ruang untuk Kematian
Di belakang restoran sarapan milik Shi Hui-hua di Keelung, Taiwan utara, ada tembok tebal putih. Di tembok itu ada beberapa ventilasi udara.
Shi (53) menyimpan persediaan bahan makanan di sana. Sekilas orang akan menyangka tembok putih itu gudang.
"Ini adalah tempat perlindungan bom," kata Shi pada sebuah pagi, kepada The Japan Times, Senin (7/11) malam. "Karena kami orang Keelung, kami tahu tempat-tempat seperti ini."
Di Keelung, ada sekitar 700 tempat perlindungan dari bom di bawah tanah, menjadikannya sebagai kota dengan bunker terbanyak di Taiwan --mungkin juga di dunia. Keelung merupakan kota pelabuhan ekspor-impor terpenting di Taiwan.
Bunker-bunker itu sebagian besar dibangun oleh Jepang, yang memerintah Taiwan dari tahun 1895 hingga akhir Perang Dunia II. Di dalamnya berupa terowongan berkelok-kelok.
Beberapa tidak terurus dan menjadi sarang kelelawar dan rumah hantu. Sebagian lagi disulap sebagai restoran atau paviliun, atau galeri seni bawah tanah. Ada pula yang dijadikan tempat menyimpan peralatan pemadam kebakaran milik pemerintah daerah setempat.
Menurut dokumen, shelter Keelung pertama kali dibangun pada abad ke-19, menjelang akhir kekuasaan Dinasti Qing atas Taiwan. Ketika itu China, yang dilemahkan oleh kelaparan dan pemberontakan, berjuang untuk mempertahankan wilayah.
Pada tahun 1884, Prancis menginvasi Keelung selama sekitar satu tahun. Komisaris kekaisaran untuk Taiwan, Liu Ming-ch'uan, berhasil mengusir pasukan Prancis dan segera membangunan terowongan kereta api pertama Taiwan melalui Gunung Shihciouling.
Bunker di sekitar resto Shi merupakan salah satu yang tertua. Lokasinya tepat di bawah taman di lereng bukit. Departemen Warisan Budaya Keelung memutuskan untuk tidak mengubah struktur geologi asli.
"Kami ingin orang-orang tahu sejarahnya, tahu bagaimana ini membantu melindungi Keelung," ujar
Kepala adepartemen Warisan Budaya Kuo Li-ya.
Ia menjelaskan terowongan dengan batu bata merah terang dan bebatuan alam itu dapat melindungi orang-orang dalam konflik lain. "Bagi banyak orang di Keelung, ancaman masa lalu dan masa kini kabur," katanya.
Kuo Li-ya merujuk pada ancaman China yang makin meningkat seiring intensitas latihan militer di lepas pantai Taiwan. Presiden China Xi Jinping juga menjadi lebih vokal tentang mengambil kembali Taiwan, jika perlu dengan 'kekuatan'.
Di Pufferfish, sebuah resto di Keelung yang berada di belakang tembok bunker lainnya, lusinan turis berfoto di pintu masuk. Sebuah kontras pemandangan dan satir. Penduduk setempat menyukai humor getir ini.
"Banyak orang memberi tahu saya jika perang pecah, mereka akan datang ke restoran saya," kata Miao Hsu-ching (34), pemilik Pufferfish. "Mereka yakin kami akan tetap menyediakan makanan."
Bagi sebagian orang, kesukaan akan tempat penampungan ini tampak aneh. Shi mengatakan kerap melihat ular di tempat tersebut. Ia idak berniat masuk ke sana, bahkan jika rudal mulai beterbangan.
Shi meminta bunker tersebut segera direnovasi, terutama untuk membuat anak-anak muda Taiwan --yang ia sebut 'generasi stroberi'-- lebih peduli situasi tegang dengan China. Ia mengingatkan keberadaan tempat perlindungan vital di masa depan ketika orang perlu sembunyi.
"Ini adalah ruang untuk kehidupan. Dan ruang untuk kematian," Shi menegaskan.
Ia kemudian menunjuk ke seberang laut. "Kami orang Taiwan, kami tidak ada hubungannya dengan China,' ujarnya. "Tapi kami tidak tahu kapan bom akan datang. Kami berharap mereka tidak pernah datang," ia menambahkan.
- Source : www.publica-news.com