www.zejournal.mobi
Sabtu, 28 Desember 2024

UMKM, Pariwisata, dan Industri Kreatif Modal Kuat untuk Selamat dari Resesi Global

Penulis : Muhardi Karijanto, SE.MM. | Editor : Anty | Senin, 17 Oktober 2022 17:00

Belum lama Pandemi Covid-19 mereda, dunia kembali dihantam oleh bencana nonalam lainnya yang dampaknya terhadap perekonomian global boleh jadi lebih mengkhawatirkan. Bencana itu adalah resesi ekonomi global. Sinyalnya telah mulai nyata, permintaan produk jadi tekstil, furnitur, sepatu dan barang-barang kerajinan ke pasar Amerika dan Uni Eropa sudah mulai berkurang. Demikian juga permintaan minyak mentah di pasar global semakin menurun yang memukul tulang punggung perekonomian negara-negara timur tengah dan penghasil minyak lainnya. Ekspor komoditas andalan Indonesia seperti CPO, batubara serta nikel, besi dan baja meski masih berjalan, namun mulai menjauh dari angka tertingginya. Kondisi demikian memberi alert kepada Pemerintah dan dunia usaha untuk semakin waspada dengan ancaman resesi global yang semakin nyata akan terjadi pada awal 2023. Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) mulai mengantisipasi melalui kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dengan bauran yang paling harmonis agar tetap mampu mengendalikan tingkat inflasi sekaligus menjaga pertumbuhan ekonomi tetap positif.

Mahalnya Harga Pangan dan Energi
Perang antara Rusia vs Ukraina yang didukung NATO alih-alih memperkuat aliansi militer negara-negara di kawasan Atlantik Utara tersebut, tetapi malah menggerogoti pertumbuhan ekonomi mereka yang diiringi dengan tingkat inflasi yang tinggi. Harga pangan dan energi yang membumbung tinggi, kemudian diikuti krisis finansial membuat kehidupan kalangan masyarakat tertentu di Amerika dan Uni Eropa sungguh menderita. Penderitaan mereka banyak tersebar melalui media sosial baik berupa pemberitaan, foto-foto ataupun video. Perempuan-perempuan terpaksa menjual diri agar tetap bertahan hidup, sedangkan anak-anak sekolah yang berasal dari kalangan bawah yang biasanya mendapat jatah makanan di sekolah hanya mampu mengunyah karet penghapus. Sewa tempat tinggal dan biaya listrik yang tinggi tidak mampu mereka bayar dan terpaksa hidup menggelandang bagaikan tuna wisma. Apalagi setelah insiden meledaknya pipa gas Nord Stream di Laut Baltik, boleh jadi akan menambah penderitaan rakyat Uni Eropa. Di samping Jerman, ada 12 negara lain di Uni Eropa yang terdampak. Penduduk disana terancam kedinginan dan produksi berbagai kebutuhan sehari-hari dipastikan mengalami perlambatan sampai terhenti karena tidak mendapat pasokan energi.

Triple Horror
Menurut Sri Mulyani Indrawati, dunia sekarang menghadapi triple horror yang meliputi inflasi yang tinggi; suku bunga yang tinggi; perlambatan ekonomi. Ketiganya memiliki risiko yang harus dikelola dengan sangat hati-hati dan terkoordinasi antara fiskal dan moneter serta bersifat komprehensif. Setiap kebijakan parsial, diyakini dapat berdampak buruk pada horor yang lain. Yang dikhawatirkan adalah jika tidak adanya keterpaduan antara pengambil kebijakan fiskal dengan moneter. Di saat BI meningkatkan suku bunga acuan (BI 7-Day Reverse Repo Rate) misalnya, yang sudah pasti adalah meningkatnya cost of fund yang menjadi momok para investor dan pengembang bisnis. Itu sama saja memperlambat pertumbuhan ekonomi, padahal inflasi belum tentu turun. Apalagi jika tujuan utamanya untuk menurunkan inflasi tidak tercapai, maka triple horror tersebut akan bermuara pada stagflasi yang akan membawa perekonomian kita melaju lebih cepat ke jurang resesi.

Saat ini Amerika dan Uni Eropa mengalami tekanan inflasi yang tinggi, berkisar antara 7,5 - 9,5 persen. Bank Dunia memperkirakan rata-rata tingkat inflasi global akan mencapai 7,6 persen, akibatnya selain akan memicu semakin mahalnya biaya produksi barang dan jasa, juga dapat berimbas terjadinya krisis finansial. Para pakar ekonomi berkeyakinan untuk mengendalikan tingkat inflasi, suku bunga harus dinaikkan. Diawali oleh the FED yang menaikkan suku bunga acuannya (FED Fund Rate) untuk mengendalikan tingkat inflasi yang menggila di Amerika, Bank-bank Sentral di Uni Eropa dan juga Indonesia, meningkatkan suku bunga acuan dan ratio giro wajib minimum dana-dana perbankan yang disimpan di Bank-bank Sentral. Sudah barang tentu tight money policy alias pengetatan likuiditas ini semakin membuat mahalnya biaya modal (cost of fund). The FED sejak awal tahun telah menaikkan FED Fund Rate-nya lima kali yang secara akumulatif sebesar 250 basis point dari 300 basis poin yang diperkirakan sampai akhir tahun menjadi 4,5 persen. Demikian juga Bank Indonesia (BI) dalam dua bulan terakhir telah dua kali menaikkan suku bunga acuannya (BI 7-Day Reverse Repo Rate) masing-masing sebesar 25 dan 50 basis point dari 100 basis point yang diperkirakan sampai akhir tahun juga menjadi 4,5 persen.

Bagi Indonesia, suku bunga yang tinggi tersebut tidak hanya membuat semakin mahalnya cost of money buat para investor dan pengusaha yang ingin mengembangkan bisnisnya, tetapi juga semakin tingginya bunga utang pemerintah yang harus dibayar, termasuk yield Surat Berharga Negara (SBN) dan juga Surat Berharga Negara Syariah (Sukuk) yang menjadi beban APBN.

Ruang Fiskal yang Sempit
Pada outlook Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022, pembayaran bunga utang mencapai Rp 403,8 triliun, naik dari tahun lalu yang sebesar Rp 343,5 triliun. Sedangkan dalam Rancangan APBN 2023, jumlah pembayaran bunga utama mencapai Rp 441,4 triliun. Kemampuan pemerintah dalam membayar utang berpotensi melemah, yang kemudian akan berisiko lebih tinggi ketika kita menutup utang dengan penerbitan utang baru baik dengan menerbitkan SBN ataupun Sukuk.

Di sisi lain, postur APBN 2023 yang baru saja diketok palu pada 29 September 2022 menunjukkan jumlah belanja sebesar Rp 3.061 triliun dengan jumlah pendapatan pajak dan bukan pajak Rp 2.463 triliun, artinya terdapat gap pendapatan dengan belanja sebesar Rp 598 triliun yang pembiayaannya bersumber dari utang lagi.

Dihadapkan pada kewajiban membayar pokok pinjaman dan bunga utang sebesar Rp 441,4 triliun serta beban subsidi pangan dan energi Rp 298,5 triliun, maka ruang fiskal pada 2023 menjadi sangat sempit, karena utang baru yang kita anggarkan Rp 598 triliun tidak cukup untuk membayar bunga utang plus subsidi yang mencapai Rp 739,9 triliun. Lebih horor lagi, jika subsidi energi yang dialokasikan dengan sangat optimis sebesar Rp 212 triliun ternyata jauh panggang dari api. Maka tiada jalan lain terpaksa menerbitkan SBN dan Sukuk baru yang bunganya semakin tinggi. Akhirnya Indonesia semakin dalam terjebak dalam utang.

Terjebak dalam Utang
Jika demikian yang terjadi, Pemerintah tidak memiliki cukup uang dan ruang dalam APBN 2023 untuk menjadi penyerap goncangan (shock absorber) seperti berulang kali disampaikan Menteri Keuangan. Diprediksi, jebakan utang yang sudah lama terjadi di negara kita, masih mungkin akan terjadi dalam satu dekade kedepan. Meski kita belum mampu keluar dari jebakan utang, namun kita masih memiliki modal kuat untuk terhindar dari resesi. Apa itu?

UMKM, Pariwisata dan Industri Ekonomi Kreatif
Indonesia beberapa kali telah mengalami berbagai goncangan ekonomi, baik yang berupa krisis moneter, krisis finansial, maupun resesi ekonomi. Namun sejauh ini kita tetap berdiri kuat dan selalu mampu melepaskan diri dari kegoncangan ekonomi tersebut. Indonesia memang ajaib.

Modal kuat kita adalah UMKM, Pariwisata dan Industri Kreatif. Saat ini tercatat tidak kurang dari 64 juta pengusaha UMKM yang banyak diantaranya bergerak di sektor pariwisata dan industri ekonomi kreatif. Terbukti kelompok ini yang paling tahan terhadap resesi ekonomi. Oleh karena itu wajib hukumnya pemerintah menaruh perhatian yang lebih besar ke sektor ini, karena selain kontribusinya yang sangat besar dalam produk domestik bruto (PDB), sektor UMKM, Pariwisata dan Industri Ekonomi Kreatif ini menyerap 95-97 persen jumlah tenaga kerja di negara kita.


Berita Lainnya :



Program sertifikasi halal gratis yang diikuti dengan Program Digitalisasi UMKM yang disponsori oleh Bank Indonesia dan dukungan pemerintah dapat dikatakan sebagai program unggulan yang datang tepat pada waktunya untuk menghadapi resesi global 2023. Program Digitalisasi UMKM itu sendiri bertujuan: memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kapasitas produksi, efisiensi biaya, dan perluasan pasar baik domestik maupun pasar ekspor. Sejauh ini, ekspor UMKM khususnya yang berasal dari industri ekonomi kreatif telah mencapai USD 25 miliar, dan diharapkan bertumbuh sebesar 35 - 45 persen per tahun. Keberhasilan ekspor ini berkat mudahnya mencari pasar ekspor melalui e-commerce yang merupakan salah satu bagian dari Program Digitalisasi UMKM Bank Indonesia. Di sektor pariwisata, saat ini kita kedatangan wisatawan dari mancanegara (wisman) sebanyak 2,5 juta dan diharapkan tahun depan meningkat menjadi 5 juta wisman. Sedangkan wisatawan Nusantara (wisnus) akan mencapai 1,4 miliar pergerakan dari dan ke berbagai kota dan destinasi wisata di seluruh Indonesia.

Begitu juga dengan berbagai kemudahan yang diberikan untuk mengakses pinjaman bank, antara lain dengan kemudahan pemberian izin usaha melalui layanan Online Single Submission Risk-Based Approach (OSS RBA) yang merupakan penyempurnaan dari layanan OSS yang sudah 6 tahun lebih berjalan. Selain diberikan subsidi bunga ataupun bunga murah, kemudahan mengakses pinjaman bank juga diberikan fasilitas kredit tanpa agunan (KTA) sampai sejumlah Rp 200 - 500 juta, kredit usaha rakyat (KUR), kredit modal kerja (KMK). Selain itu ada kredit investasi dan kredit multi guna (KMG) yang memerlukan persyaratan agunan. Terbitnya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2022 sebagai peraturan pelaksanaan UU tentang Ekonomi Kreatif antara lain mengatur Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dapat dijadikan agunan untuk mendapat pinjaman dari perbankan dan lembaga keuangan nonbank lainnya sudah barang tentu memberi ruang yang lebih luas buat UMKM khususnya yang bergerak di industri ekonomi kreatif untuk mengakses sistem perkreditan perbankan.

Diharapkan dengan semakin besar dan kuatnya sektor UMKM, Pariwisata dan Industri Ekonomi Kreatif, maka negara kita memiliki ketahanan ekonomi nasional yang dapat diandalkan untuk tetap memiliki pertumbuhan ekonomi yang positif di tengah-tengah kondisi perekonomian global yang tertekan resesi pada 2023, maupun oleh berbagai krisis finansial dan moneter lainnya di masa-masa yang akan datang.


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar