Undang-undang Perkawinan dan Maraknya Perintah Pencatatan Perkawinan Beda Agama
Semakin banyak pengadilan yang memerintahkan Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) untuk mencatat perkawinan beda agama. Setelah Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menerbitkan perintah pencatatan perkawinan beda agama pada bulan Juni 2022, beberapa PN mengikuti.
PN Jaksel mengeluarkan 2 kali perintah untuk mencatat perkawinan beda agama di bulan September 2022. Langkah tersebut juga diikuti oleh PN Jaktim sebagaimana diberitakan oleh detik.com. Tidak hanya di Jakarta, PN Pontianak pun mengeluarkan perintah pencatatan perkawinan beda agama kepada Dukcapil.
Dari berbagai pertimbangan hakim yang dirangkum oleh detik.com, tampak bahwa hukum di Indonesia tidak melarang pencatatan perkawinan beda agama. Memang hakim di PN Jaksel, Arlandi Prayogo, menyatakan perkawinan beda agama tidak sah tetapi toh tetap mengizinkan pencatatan perkawinan agama di catatan sipil.
Sebenarnya keputusan ini aneh karena perkawinan dinilai tidak sah tetapi diizinkan dicatat. Bukankah pencatatan perkawinan itu dimaksudkan untuk mendapatkan status sah secara negara? Jika demikian, perkawinan yang tidak sah ini menurut siapa? Kalau dicatat di catatan sipil khan berarti berhak mendapat akta nikah sipil sebagai bukti perkawinan mereka diakui secara negara.
Dasar hukum yang digunakan Arlandi adalah pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan tahun 1974. Dalam pasal itu disebutkan bahwa perkawinan hanyalah sah, apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan ini dianggap berlaku sebagai ketentuan pasangan yang memiliki agama yang sama sebagaimana tertuang dalam penjelasan pasal tersebut.
Tafsiran pada hukum ini aneh karena di sana sama sekali tidak disebut soal seagama atau tidak. Ketentuan yang diundangkan hanyalah perkawinan harus dilaksanakan menurut hukum agama. Karena itulah, kalau ada agama di Indonesia yang mempunyai hukum yang bisa mengesahkan perkawinan beda agama, maka seharusnya perkawinan itu sah pula secara negara.
Pertimbangan tambahan untuk menyatakan perkawinan tidak sah adalah adanya keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa perkawinan beda agama adalah haram. MUI diakui sebagai instansi tertinggi dalam agama Islam sehingga akad nikah beda agama tidak sah karena tidak sesuai dengan hukum agama.
Sejak kapan MUI sebagai instansi tertinggi dalam agama Islam? Sejak kapan fatwa yang dikeluarkan MUI mengikat dan mempengaruhi hukum di Indonesia? Seharusnya pertimbangan dari MUI tidak berada di atas hukum yang diakui di Indonesia.
Selain Arlandi Prayogo, seluruh hakim yang mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama di catatan sipil menyatakan bahwa perkawinan beda agama sah menurut undang-undang. Dasar yang dipakai sama yaitu pasat 2 ayat 1 UU Perkawinan tahun 1974 dan ditambah dengan pasal 28 dan 29 UUD 1945. Dengan dasar hukum ini disampaikan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak membina perkawinan sekaligus mempertahankan agamanya.
Hakim tentu orang yang tahu soal hukum. Pengabulan pencatatan perkawinan beda agama dan pengakuan keabsahan perkawinan beda agama tentu berdasarkan hukum yang berlaku. Karena itulah, bisa dikatakan bahwa para hakim itu tidak menemukan hukum yang menyatakan perkawinan beda agama tidak sah.
Kalau memang demikian, mengapa pencatatan perkawinan beda agama harus menggunakan perintah pengadilan? Mengapa tidak langsung saja Dukcapil mencatat perkawinan beda agama? Bukankah hal ini akan lebih memudahkan?
Selain itu, adanya ketentuan agar pengadilan memerintahkan Dukcapil mencatat perkawinan beda agama merupakan pengakuan bahwa perkawinan beda agama adalah sah. Jika memang tidak sah, mengapa memberi peluang pencatatan melalui perintah pengadilan? Karena itulah, sebaiknya perkawinan beda agama langsung dicatatkan saja di catatan sipil tanpa perlu melalui pengadilan.
Saat ini, Mahkamah Konstitusi (MK) masih melakukan sidang gugatan uji materi soal UU Perkawinan. Gugatan ini disampaikan oleh Ramos Petege, seorang warga Papua, yang gagal menikahi pasangannya karena berbeda agama. Fakta bahwa makin banyak pengadilan yang memerintahkan pencatatan perkawinan beda agama perlu menjadi perhatian MK.
Tentu saja, saya tidak bermaksud untuk mendorong terjadinya perkawinan beda agama. Saya hanya ingin hukum ditegakkan sesuai adanya dan bukan karena pengaruh kelompok tertentu saja. Kesetaraan hukum tentu perlu didapatkan oleh pasangan yang ingin membangun hidup bersama dalam perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama memang mempunyai potensi konflik yang besar tetapi potensi toleransi dan kebaikan juga pasti ada.
Kura-kura begitu menurut saya. Anda bagaimana?
- Source : seword.com