www.zejournal.mobi
Rabu, 20 November 2024

Tingginya Utang RI Lampu Merah, Berisiko Gagal Bayar

Penulis : Ajeng Permatasari | Editor : Admin | Selasa, 05 Oktober 2021 09:00

Usai berita mengenai Amerika Serikat yang terancam gagal bayar utang hampir Rp400 ribu triliun, publik pun meragukan kemampuan Indonesia dalam membayar utangnya.

Berdasarkan data APBN KiTa September 2021 yang dirilis Kementerian Keuangan, per akhir Agustus 2021 lalu, posisi utang RI berada di angka Rp6.625,43 triliun, dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 40,85%.

Posisi utang pemerintah pusat pada Agustus 2021 naik sebesar Rp55,27 triliun jika dibandingkan dengan posisi utang pada akhir Juli 2021. Hal ini disebabkan oleh kenaikan utang dari Surat Berharga Negara Domestik sebesar Rp80,1 triliun, lalu utang Surat Berharga Negara dalam valuta asing turun sebesar Rp 15,42 triliun. Hal yang sama terjadi juga untuk pinjaman, di mana terjadi penurunan sebesar Rp9,41 triliun, dilansir Detik.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menyatakan, status utang RI saat ini sudah lampu merah. Bhima mengaku khawatir jika rasio utang ini masih terus naik, di samping kondisi pemerintah saat ini masih mengalami banyak tantangan dalam menangani defisit APBN.

"Jumlah utang ini ada konsekuensinya terhadap rasio utang ke depannya. Batasannya 60%, diprediksi 2 atau 3 tahun ke depan terjadi pelebaran rasio utang di atas 60%, 70% apakah 80%," ujar Bhima pada Detik.

Sementara itu, Ekonom Center of Reform of Economics (CORE) Yusuf Rendi Manilet menjelaskan kepada Detik, walaupun tak bisa dibandingkan keadaan utang RI dan AS, namun jumlah utang yang dimiliki RI saat ini musti tetap diwaspadai oleh pemerintah.

"Kalau level bahaya memang tidak bisa dikomparasikan secara langsung AS dan Indonesia, karena rasio utang terhadap PDB sudah mencapai sekitar 129%. Sementara Indonesia masih jauh di bawahnya. Dengan adanya framework keberlanjutan fiskal, tentu peningkatan utang Indonesia menjadi sesuatu hal yang perlu diwaspadai oleh pemerintah," jelas Yusuf pada Detik.

Sebab menurutnya, terdapat beberapa konsekuensi yang harus diperhatikan oleh pemerintah.

Pertama, meningkatnya beban pembayaran bunga utang pada pos belanja pemerintah. Merujuk data proporsi belanja bunga utang pada pos belanja pemerintah pusat selama 5 tahun terakhir, terjadi peningkatan.

"Pada 2014, proporsi belanja bunga utang mencapai 11% terhadap total belanja pemerintah pusat, namun pada akhir 2020 meningkat berada pada kisaran 19%," papar Yusuf.

Lebih lanjut, menurut Yusuf, jatuh tempo utang dan risiko volatilitas dari pengambilan utang juga harus dicermati. Terlebih, rasio pembayaran pajak yang menjadi salah satu sumber pembayaran utang tahun ini sedang mengalami penurunan akibat pandemi COVID-19.

Di tempat terpisah, anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS Amin Ak, turut mendesak agar pemerintah dapat segera menyusun langkah antisipasi atas krisis finansial yang menimpa industri properti di China, dan tsunami kebangkrutan yang menimpa dunia usaha di Jepang, di samping Amerika yang terancam gagal membayarkan utangnya.


Berita Lainnya :

Amin menilai, krisis yang melanda kedua negara itu juga dapat memberikan efek bagi perekonomian Indonesia yang disebabkan oleh hubungan perdagangan.

“Nilai neraca dagang antara Indonesia dengan China dan Jepang sangat besar. Indonesia juga terlibat utang yang cukup besar dengan kedua negara tersebut. Krisis yang melanda China dan Jepang bisa berdampak bagi perekonomian Indonesia,” terang Amin dilansir laman Fraksi PKS DPR RI.

“Saya minta pemerintah gerak cepat mengantisipasi dampaknya terhadap perekonomian nasional. Terutama potensi penurunan laju ekspor ke kedua negara tersebut,” imbuhnya.

Sebelumnya, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu mengatakan kepada Tribunnews bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia terpuruk dengan jebakan utang.

Ia menegaskan, pemerintah perlu mengambil kebijakan untuk menarik investor di sektor hulu migas. Sebab, Syaikhu menilai, peranan investasi di sektor hulu semakin krusial. Menurutnya, tak memungkinkan jika beban eksplorasi ladang dan sumber energi baru disokong oleh APBN.

"Terlebih APBN kita semakin terpuruk dengan jebakan utang yang semakin menguat, kita perlu ada kebijakan yang menarik investor di hulu migas yang efektif,” papar Syaikhu dinukil dari Tribunnews.


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar