Bayi Silver, Buntut Minimnya Edukasi dan Desakan Ekonomi
Fenomena bayi silver menjadi pembuka mata akan seberapa dalamnya permasalahan sosial di Indonesia, bila terpojok kesulitan ekonomi.
Media sosial tengah dihebohkan oleh berita tentang bayi yang diajak mengamen oleh “manusia silver”. Tidak sampai di situ, yang menyebabkan warganet begitu sigap menanggapi kabar tersebut adalah karena bayi tersebut ikut serta dicat silver.
Kabar mengenai bayi silver ini pertama kali diunggah oleh akun @tangerangupdatecom di Instagram. Video yang diunggah menunjukkan bayi yang dicat silver di sekujur tubuhnya sedang digendong seorang perempuan.
Dari keterangan sumber, pengamen tersebut ditemui di sekitar SPBU Parakan Pamulang, Tangerang selatan, pada Jumat (24/9). Berita itu sontak viral karena warganet menduga bayi tersebut telah menjadi korban eksploitasi.
Tak lama setelah berita tersebut viral, Satpol PP setempat berhasil mengamankan ibu beserta bayinya. Dari hasil penelusuran tersebut diketahui bayi silver tersebut masih berumur 10 bulan dan tinggal bersama ibunya (NK) yang berusia 21 tahun.
Dari pengakuan NK, Satpol PP mengetahui bayi itu dicat tanpa sepengetahuan NK oleh tetangganya, suami-istri berinisial E dan B, yang sehari-hari menjadi pengemis silver. Selesai mengemis seharian, bayi dikembalikan dan NK diberi uang 20 ribu untuk kebutuhan susu dan popok.
Dikutip dari dari Detik.com, Kepala Seksi Penyelidikan dan Penyidikan Satpol PP Kota Tangeran Selatan Muksin Al-Fachry menyampaikan, saat ini ibu NK dan bayinya sudah dibawa ke dinas sosial untuk selanjutnya diberi pengarahan.
Peristiwa ditemukannya bayi yang dibawa mengemis dan bahkan dicat sekujur tubuhnya ini memberi warna baru dalam corak kehidupan sosial di kota besar. Terlepas dari permasalahan yang didahapi, tak mudah rasanya menemukan pembenaran untuk mewajarkan aksi yang dilakukan baik oleh ibu NK maupun pasangan suami istri E dan B.
Ada yang hanya sekadar bisa miris hati, namun tak banyak yang tegas menentang perilaku pengemis tersebut. Muksin juga menekankan bahwa aksi yang dilakukan pengemis tersebut jauh dari seni, melainkan tindakan melawan hukum.
"Dia mengatasnamakan seni, (tapi) kalau udah bawa anak-anak, itu udah bukan seni lagi. Namanya, menggunakan anak untuk minta minta, itu ada sanksinya," tutur Muksin.
Muksin merujuk pada Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menegaskan anak di bawah umur 18 tahun dilarang untuk dipekerjakan. Di jalanan, sering ditemukan pengemis yang membawa bayi. Terlepas dari bayi itu anak dari pengemis yang bersangkutan atau bukan, diduga bayi-bayi yang turut dibawa mengemis diberi obat tidur agar tidur seharian dan tidak rewel.
Seribu cara akan dilakukan orang bila sudah 'kepepet'. Begitu banyaknya masyarakat yang harus terjun ke jalanan untuk sesuap nasi, membuat beberapa dari mereka harus mencari cara untuk mendapatkan atensi.
Dibarengi dengan minimnya edukasi, membuat faktor ekstrem yang rela dilakukan masyarakat untuk mencari rezeki dapat menghasilkan aksi yang di luar nalar, entah karena ketidaktahuan atau karena keterpaksaan.
Mencari dan menyelesaikan akar permasalahan eksploitasi anak untuk kepentingan ekonomi memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Namun yang pasti, jika tidak diatasi, masa depan negara ini akan bersandar pada banyak anak muda yang tumbuh dalam pengaruh obat tidur di pinggir jalan.
- Source : www.matamatapolitik.com