www.zejournal.mobi
Jumat, 11 Oktober 2024

Pengakuan Mata-mata ISIS: ‘Saya Kafir Sekarang’

Penulis : Purnama Ayu Rizky | Editor : Anty | Kamis, 27 Mei 2021 11:58

Dia bergabung dengan ISIS, melatih infanteri jihadis, dan melatih operasi asing, termasuk dua orang Prancis. Sekarang, Abu Khaled siap untuk angkat bicara.

Butuh beberapa upaya untuk meyakinkan, tapi pria bernama Abu Khaled ini akhirnya angkat bicara. Dia bergabung dengan ISIS dan bertugas di cabang “keamanan negara”, Amn al-Dawla, melatih infanteri jihadis dan operasi asing, catat Michael Weiss di The Daily Beast.

Sekarang, katanya, dia telah meninggalkan ISIS sebagai pembelot, menjadikannya orang yang diawasi. Namun, dia tidak ingin meninggalkan Suriah. Abu Khaled telah bekerja dengan ratusan rekrutan asing di bawah panji ISIS, beberapa di antaranya telah melakukan perjalanan kembali ke negara asal mereka sebagai bagian dari upaya kelompok tersebut untuk menyebarkan agen rahasia di antara musuh-musuhnya.

Namun, Abu Khaled tidak ingin meninggalkan istri dan apartemennya yang baru saja diperolehnya di pinggiran kota Aleppo. Ia tak mau mengambil risiko menempuh perjalanan jauh ke kota pelabuhan Turki ini. Sejak dia menyelamatkan diri dari ISIS, katanya, dia sibuk membangun katiba, atau batalion, untuk melawan mantan rekan-rekan jihadisnya.

“Saya tidak bisa begitu saja meninggalkan wilayah ISIS,” katanya kepada Michael Weiss, kontributor The Daily Beast. Ini akan sangat sulit baginya karena semua perbatasan dikendalikan oleh aparat keamanan negara yang dia layani.

“Saya melatih orang-orang ini! Kebanyakan dari mereka mengenal saya.”

“Saya tidak bisa pergi, Mike,” katanya lebih dari sekali saat dia dan Weiss berbincang jarak jauh selama berjam-jam.

“Saya kafir sekarang. Saya dulu Muslim dan sekarang saya kafir. Saya tidak bisa kembali ke Muslim lagi dari kafir.” Harga yang harus dibayar adalah kematian.

Mengingat situasinya, tampaknya mungkin, bahkan lebih baik, dia meninggalkan Suriah untuk selamanya, dan membawa istrinya ke Istanbul, sehingga mereka akhirnya bisa pergi ke Eropa. Namun dia bahkan menolak untuk mempertimbangkan hal seperti itu. Abu Khaled memberitahu Weiss bahwa dia siap mati di Suriah.

“Kita harus mati di suatu tempat,” katanya. “Orang mati di tempat tidur lebih banyak daripada orang yang mati dalam perang. Bagaimana jika hal seperti ini terjadi di negara Anda? Apakah Anda bersedia mati untuk negara Anda, generasi berikutnya, atau apakah Anda akan melarikan diri?”

Semua ini terdengar meyakinkan, tetapi untuk mendapatkan apa yang diketahui Abu Khaled, Weiss harus memiliki kesempatan untuk menanyainya berulang kali. Abu Khaled harus ditanyai tentang kontradiksi dalam pengakuannya, tulis Weiss. Bahasa tubuhnya, gerakannya, dan ceritanya harus diperhatikan. Itu hanya bisa dilakukan secara langsung.

Abu Khaled akhirnya setuju untuk bertemu Weiss secara langsung. Dia meminjam sekitar US$1.000 untuk menempuh perjalanan sejauh 750 mil dengan mobil dan bus dari Aleppo ke Istanbul, dan kemudian kembali lagi. Mereka bertemu di akhir Oktober. Selama tiga hari yang panjang, di kafe, restoran, dan jalan raya kosmopolis, di garis patahan antara Eropa dan Timur Tengah, Weiss mengawasinya melalui kabut asap saat dia menyalakan rokok satu demi satu, dan menyesap pahitnya kopi Turki.

“Sepanjang hidup saya, OK, saya Muslim, tapi saya tidak mematuhi Syariah atau sangat religius,” katanya di awal percakapan mereka.

“Suatu hari, saya melihat wajah saya di cermin. Saya memiliki jenggot yang panjang. Saya tidak mengenali diri saya sendiri.”

Abu Khaled bukanlah seorang fanatik muda baru yang ingin mati syahid, dia adalah seorang warga negara Suriah paruh baya multibahasa yang berpendidikan tinggi. Bakatnya, termasuk pelatihan militer masa lalunya, dianggap berguna oleh kepemimpinan ISIS.

Dia bergabung dengan ISIS pada 19 Oktober 2014, katanya, sekitar sebulan setelah Operasi Inherent Resolve pimpinan AS memperluas kampanye pengeboman udaranya ke Raqqa, provinsi timur tempat ISIS mempertahankan “ibu kotanya”.

Abu Khaled merasa harus mendaftar karena dia yakin Amerika adalah kaki tangan konspirasi global, yang dipimpin oleh Iran dan Rusia, untuk menjaga tiran Bashar al-Assad tetap berkuasa. Selain itu, Abu Khaled penasaran.

“Saya pergi ke sana secara praktis sebagai sebuah petualangan,” katanya.

“Saya ingin melihat orang seperti apa yang ada di sana. Sejujurnya, saya tidak menyesalinya. Saya ingin mengenal mereka. Sekarang mereka adalah musuh saya, dan saya mengenal mereka dengan sangat baik.”

Prosedur yang membawanya ke jajaran ISIS diatur secara menyeluruh. Dia mendekati sebuah pos pemeriksaan di kota perbatasan Turki-Suriah, Tal Abyad, yang berada di tangan ISIS.

“Mereka bertanya kepada saya, ‘Mau kemana?’ Saya berkata: ‘Raqqa.’ Mereka bertanya mengapa. Saya memberi tahu mereka, saya ingin bergabung dengan ISIS. Mereka memeriksa koper saya.”

Begitu sampai di Raqqa, dia harus pergi ke “kedutaan Homs,” nama untuk gedung administrasi ISIS di mana semua warga Suriah harus melamar. Dia menghabiskan dua hari di sana, setelah itu dia dipindahkan ke apa yang disebut dengan “Departemen Administrasi Perbatasan.” Semua ini di negaranya sendiri, yang menurut ISIS tidak ada lagi.

“Mereka menganggap saya seorang imigran karena saya tinggal di luar kekhalifahan.” Jadi Abu Khaled harus “dinaturalisasi” terlebih dahulu, dan harus lulus wawancara kewarganegaraan yang dilakukan oleh orang Irak bernama Abu Jaber.

Bendera ISIS. (Foto: Shutterstock)

“Mengapa Anda ingin menjadi seorang pejuang suci?” dia ditanya. Dia menjawab asal-asalan, menyebut tentang melawan tentara salib-kafir, kenangnya. Ia akhirnya lolos.

Tahap berikutnya adalah indoktrinasi: “Saya belajar Syariah selama dua minggu. Kami harus ikut kelas. Mereka mengajari kami cara membenci orang.” Abu Khaled tertawa. Dia diajari Islam versi ISIS, bahwa non-Muslim harus dibunuh karena mereka adalah musuh komunitas Islam. “Ini pencucian otak,” katanya.

Dalam minggu-minggu pertamanya bersama ISIS, Abu Khaled bertemu dengan orang Jerman, Belanda, Prancis, Venezuela, Trinidad, Amerika, dan Rusia, semuanya baru tiba untuk “tinggal dan berkembang.” Seperti yang mungkin diharapkan, para jihadis internasional ini tidak mengerti bahasa Arab, jadi sebagai poliglot, Abu Khaled sangat dihargai. Dia fasih berbahasa Arab, Inggris, dan Prancis, dan karena itu langsung dimanfaatkan sebagai penerjemah.

Sebagai bagian dari agitpropnya, ISIS sering menunjukkan para pejuang asingnya membakar paspor mereka dalam ritual yang dirancang untuk menunjukkan bahwa tidak ada jalan mundur. Namun, ini sebagian besar hanya pertunjukan. Sebelumnya, sebagian besar pendatang baru menyimpan paspor mereka atau “menyerahkannya” ke bagian “Sumber Daya Manusia,” kata Abu Khaled.

Kebijakan personalia yang relatif longgar itu telah berubah dalam beberapa hari terakhir. ISIS semakin membatasi dan mengendalikan karena mulai kalah dalam pertempuran, beberapa di antaranya dengan biaya yang luar biasa.

Pada puncak lonjakan perekrutan asing ISIS, dia mengatakan masuknya orang asing benar-benar mengagumkan. “Kami memiliki sekitar 3.000 pejuang asing yang datang setiap hari untuk bergabung dengan ISIS. Setiap hari. Sekarang kami bahkan tidak memiliki 50 atau 60 orang.”


Berita Lainnya :

Kekurangan yang tiba-tiba ini telah menyebabkan pemikiran ulang yang cermat oleh komando tinggi ISIS tentang bagaimana penduduk di luar Suriah dan Irak dapat melayani dengan sebaik-baiknya. “Hal yang paling penting,” kata Abu Khaled, “adalah bahwa mereka mencoba membuat sel-sel tidur di seluruh dunia.” Pimpinan ISIS telah “meminta orang untuk tinggal di negara mereka dan berperang di sana, membunuh warga, meledakkan gedung, apa pun yang bisa mereka lakukan. Mereka tidak harus datang.”

Menyusul serangan teroris Paris pada 13 November 2015, yang terjadi hampir sebulan setelah pertemuannya dengan Weiss di Turki, Weiss menghubungi Abu Khaled. Dia mengatakan dia yakin yakin salah satu atau kedua warga negara Prancis itu terlibat dalam serangan terkoordinasi, kekejaman terburuk yang menimpa Prancis sejak Perang Dunia II, yang telah menewaskan sedikitnya 132 orang.

Sementara itu, dia menawarkan deskripsi fisik mereka. Yang pertama adalah orang Afrika Utara, mungkin dari Aljazair atau Maroko, botak, dengan tinggi dan berat rata-rata. Yang lainnya adalah orang Prancis, pendek, berambut pirang, bermata biru, kemungkinan besar mualaf, yang memiliki seorang istri dan putra berusia 7 tahun.

Informasi seperti itu terdengar seperti jenis informasi yang dibutuhkan untuk melawan ISIS. Weiss kemudian bertanya kepada Abu Khaled: Apakah Anda memperingatkan seseorang tentang kedua orang itu? “Ya,” pungkasnya, menolak untuk memberi informasi rinci lain.


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar