www.zejournal.mobi
Rabu, 27 November 2024

Jauh Sebelum Persebaran Islam, Suku Ini Telah Terapkan Budaya Sunat

Penulis : Vita Ayu Anggraeni | Editor : Indie | Rabu, 21 Agustus 2019 13:58

Sebenarnya ada banyak bukti untuk menunjukkan keanekaragaman budaya di Indonesia. Buktinya bisa memperkaya pengetahuan kita sehingga kita bisa melihat keberadaan Indonesia secara keseluruhan, bijak, dan komprehensif.

Tanpa pemahaman itu, niscaya akan sulit menyentuh seseorang dengan semangat toleran, menghargai perbedaan, sehingga harmoni, persatuan, dan kedamaian tercipta. Jadi, pemahaman akan keanekaragaman memang menentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Keragaman budaya yang dimiliki oleh suku Akit di Pulau Rupat, Kecamatan Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, adalah salah satu bukti. Suku ini memiliki beragam keunikan yang tidak dimiliki oleh suku-suku lain.

Suku Akit juga disebut suku Akik. Mungkin, istilah ini berasal dari kata "rakik" atau "rakit", yang merupakan sarana transportasi air, karena kehidupan mereka lebih aktif di muara laut dan sungai.

Pada zaman kuno mereka membangun rumah di atas rakit sehingga mereka bisa bergerak kapan saja sesuai dengan lokasi air yang diinginkan. Tapi sekarang, mereka menetap di sekitar Pulau Rupat.

Karakteristik fisik suku Akit sebenarnya mirip dengan ras Mongoloid. Dahi dan tulang pipi mereka tinggi, mata sipit, dan rambut mereka cenderung ikal. Untuk warna kulit cenderung kecoklatan akibat sengatan matahari tropis.

Menurut penelitian Dr. Zulyani Hidayah di Ethnic Encyclopedia di Indonesia (2015: 10-12), jumlah penduduk suku Akit pada tahun 1984 mencapai sekitar 3.500 jiwa. Namun kini, jumlah mereka diperkirakan telah mencapai dua atau tiga kali dari angka tersebut.

Menurut cerita lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi, leluhur mereka berasal dari Semenanjung Malaka (Malaysia). Suku Akit awalnya bagian dari anak-anak suku Kit di daratan Asia. Karena kekacauan, mereka kemudian mengembara ke selatan.

Mata pencaharian asli mereka adalah berburu menggunakan tombak dan panah, menangkap ikan, dan mengolah sagu yang dulu tumbuh liar di rawa-rawa dan hutan di Pulau Rupat. Dan jenis-jenis hewan yang mereka buru adalah babi, kijang, dan kancil.

Biasanya, mereka juga memelihara anjing untuk digunakan sebagai teman berburu babi. Dan teknik berburu babi dengan anjing masih dilestarikan seperti halnya suku-suku lain di wilayah Sumatra.

Contoh lainnya adalah kebiasaan memanen durian dan menghasilkan anggur aren dari pohon palem atau kelapa. Makan durian dan minum tuak adalah teman untuk "menghangatkan" selama adat suku Akit.

Keunikan berikutnya adalah tradisi sunat. Sunat adalah kewajiban bagi suku Akit pada usia 7-13 tahun. Dan pentingnya kebiasaan ini telah menjadi tradisi jauh sebelum ajaran Islam menyebar di nusantara.

Selain menjadi simbol sifat supranatural, sangat mungkin, tradisi sunat adalah manifestasi dari komitmen suku Akit untuk menjaga kesehatan organ reproduksi dari berbagai penyakit dan kekotoran batin dunia.

Ketika seorang pria dari suku Akit mencapai usia 17 tahun, dia akan menikah. Usia seorang wanita suku Akit yang siap menikah setidaknya berusia 15 tahun. Setelah menikah, calon pengantin akan tinggal di rumah baru mereka, atau sementara waktu juga tinggal di rumah orang tua suami.

Berbicara tentang pernikahan, biasanya ditentukan berdasarkan jumlah uang (sebelumnya menggunakan ringgit Malaysia), mas kawin dalam bentuk cincin emas, pakaian, perlengkapan rumah tangga, dan sebagainya.

Dan tentu saja, setiap kali pernikahan dirayakan, akan ada suguhan anggur aren dan berbagai makanan mewah. Penyelenggara pesta juga selalu memotong babi. Sambil menikmati makanan, para tamu akan menari dan bernyanyi sampai pagi.

Di era Kesultanan Siak, suku itu pernah direkrut untuk menjadi anggota pasukan laut. Keahlian berlayar, ketahanan laut, dan jiwa pemberani yang dimiliki oleh suku Akit dibutuhkan oleh Kesultanan Siak.

Juga mengenai kemampuan untuk menggunakan senjata sumpit beracun yang dimiliki oleh orang-orang suku Akit. Keahlian itu juga sangat ditargetkan untuk memperkuat armada Kesultanan Siak, terutama dalam konteks pertempuran pasukan Belanda.

Sayangnya, ketika bangsa Belanda datang dengan teknologi yang lebih canggih, banyak suku Akit ditangkap dan dipaksa menjadi budak oleh pasukan Belanda. Dan konflik antara suku Akit dan pasukan Belanda telah berlangsung cukup lama.

Suku Akit biasanya mengganggu dan menyerang kapal-kapal Belanda sehingga mereka sering dijuluki bajak laut yang sulit untuk dikalahkan.

Ketika kerja sama dengan Kesultanan Siak muncul dalam perang melawan Belanda, Kesultanan Siak menunjuk seorang pemimpin dari suku Akit dengan gelar khusus. Gelar ini adalah tanda pengakuan dan kehormatan.

Namun, meski telah berkolaborasi dengan Kesultanan Siak, suku Akit memiliki sedikit pengaruh dari budaya Melayu. Karena, suku ini memiliki prinsip yang kuat dalam menjaga identitas suku mereka.


Berita Lainnya :

Akit menyebut orang-orang dari suku Melayu sebagai orang Selam, yang berarti "Muslim". Akibatnya, budaya dan ajaran Islam yang banyak diadopsi oleh orang Melayu juga tidak memiliki banyak pengaruh terhadap budaya suku Akit.

Bisa dikatakan, satu-satunya nilai agama yang mewarnai suku Akit adalah sistem moral dalam ajaran Buddha.

Memasuki era kemerdekaan hingga sekarang, banyak orang Akit kemudian menikah dengan orang Tionghoa perantauan. Para perantau dari Tiongkok tertarik untuk menikahi gadis suku Akit dan tinggal bersama komunitas mereka.

Di mata orang-orang di luar Pulau Rupat, suku ini juga dikenal sebagai penghasil buah durian yang kemudian diolah menjadi makanan khas suku Akit yakni olahan durian disebut lempok. Sedangkan jenis makanan dari perburuan adalah gulai pelanduk (kari daging kancil).

Catatan kaki: Netral News


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar