Sejak Kapan Merokok Menjadi Budaya Indonesia?
Ide-ide tentang modernitas dirangkai dengan alur logika yang khas oleh penguasa melalui penciptaan gagasan modernitas bagi kaum pribumi. Pada masa Kolonial, Pemerintah Belanda sengaja menyebarkan doktrin seolah-olah mereka, orang-orang kulit putih adalah kelompok perwalian (Guardianship) untuk membimbing dan membantu bangsa pribumi untuk mencapai kemajuan agar menjadi manusia yang lebih beradab (The White Man’s Burden).
Sambungan modernitas berfokus pada peran budaya warga koloni (Hindia-Belanda, sebutan untuk Indonesia masa itu) yang diciptakan oleh pemerintah Kolonial. Salah satunya yakni gagasan tentang merokok sebagai gaya hidup modern.
Bukan Budaya Kita
Merokok adalah budaya konsumerisme yang sengaja di ciptakan oleh bangsa barat kepada masyarakat Indonesia dengan menunggangi klaim identitas budaya lokal (local genius), lantas, apakah pro kontra mengenai kegemaran merokok bagi masyarakat disemua lapisan merupakan budaya asli bangsa ini?
Taukah anda? merokok bukan kebiasaan asli orang Indonesia, melainkan diperkenalkan oleh orang-orang Belanda. Kata rokok diadopsi dari bahasa Belanda roken yang berarti menghisap asap tembakau.
Tembakau pun bukan tanaman asli Indonesia. Sejarawan Kartono Sartodirjo menyatakan tembakau berasal dari Amerika Selatan dan Hindia Barat. Tembakau diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad XVI dibawa oleh bangsa Portugis dan Spanyol. Pemerintah kolonial Hindia Belanda lalu mengembangkan dan memproduksi tanaman tembakau menjadi tanaman komersial melalui sistem tanam paksa yang diberlakukan kepada petani-petani pribumi.
Mengunyah Sirih
Kegiatan mengunyah sirih yang membuat mulut berwarna merah sudah sangat jarang kita jumpai. Peran sirih tergerus oleh tembakau dalam sajian rokok baik kretek maupun filter. Apalagi, di daerah kota besar. Padahal, kegiatan ini sudah menjadi salah satu aktivitas budaya asli pribumi.
Soal menyirih sejatinya tidak hanya di Sumatra utara, Indonesia bahkan seluruh negara di Asia Tenggara mengenal kebudayaan ini yang dapat menimbulkan kecanduan ini. Ya, menyirih atau bisa juga disebut sebagai makan sirih sudah mengakar di kalangan masyarakat Indonesia sebagai local genius, baik pria maupun wanita sejak berpuluh tahun yang lalu.
Kegiatan ini akan mereka lakukan saat waktu senggang atau pun berkumpul. Bukan hanya para kaum wanita yang memakan tumbuhan yang dipadu dengan beraneka macam jenis tanaman ini, tetapi para kaum adam juga melakukan kegiatan ini, saat mereka berkumpul.
Seiring berjalannya waktu, orang yang makan sirih semakin sulit untuk dilihat. Kita dapat melihat seorang wanita sedang menyirih saat berada di kampungnya, yang terletak di daerah pegunungan, seperti Karo, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan dan Nias (untuk Sumut).
Sedangkan secara nasional, suku Dayak dan juga masyarakat di Papua masih sering melakukan kegiatan ini. Tiap etnis menganggap peran sirih pada umumnya adalah sama. Sebuah lambang penghormatan. Peran sirih paling tampak saat adanya pesta pernikahan ataupun pesta adat dari masing-masing etnis. Hal ini terlihat bagi warga Karo, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan Nias, bahkan mayoritas daerah di wilayah Indonesia timur menggunakan sirih saat pesat pernikahan..
Hingga saat ini, kebudayaan makan sirih di wilayah Indonesia bagian timur masih tetap dilanjutkan terutama saat adanya pesta pernikahan. Akan terlihat para orang tua dari suku ini terlihat asyik dengan sirihnya masing-masing.
Hal yang sama juga akan terlihat pada para wanita yang tetap mengunyah sirih saat pesta pernikahan. Hanya saja bedanya para wanita juga mengunyah sirih saat mereka berkumpul dalam sehari-hari. Bahkan uniknya, para wanita ini juga menyediakan tempat untuk membuang air ludahnya yang berwarna merah.
Budaya mengunyah sirih inilah yang sebenarnya merupakan budaya asli bangsa Indonesia. Lantas, mengapa terjadi kesalahpahaman bahwa budaya merokok adalah budaya yang lebih baik dari mengunyah sirih?
Propaganda Pemerintah Kolonial
Pada sekitar 1900-1950 budaya merokok diperkenalkan oleh pemerintah kolonial belanda sebagai kebudayaan milik elitis kaum ningrat dan terpelajar. Citra yang dibangun oleh pemerintah kolonial belanda adalah bahwa pelaku elit pendidikan dekat dengan konsumsi rokok karena membuat relaks dalam berpikir.
Nah, sekarang jelas jangan heran jika tokoh pergerakan nasional Indonesia sering kita jumpai bergambar dengan bangganya menghisap cerutu rokok. Begitulah modernisasi melalui budaya merokok telah menjangkiti mereka yang juga merasa harus setara dengan kedudukan kum penjajah dengan mneniru lifestyle bangsa Belanda, yakni ikut merokok!
Merokok juga menjadi simbol status sosial yang lebih tinggi. Posisi menghisap rokok dianggap lebih terhormat daripada mengunyah sirih sebagai kebiasaan masyarakat pribumi. Kaum belanda mengatakan budaya sirih tidak beradab karena meludah di berbagai tempat.Sejak itu, rokok diterima secara universal oleh rakyat Indonesia sebagai budaya masyarakat yang lestari hingga kini.
Padahal, propaganda merokok sengaja dilancarkan pemerintah Kolonial yang berhasil menciptakan pangsa pasar dan mengeruk keuntungan dari bisnis penjualan rokok. Disisi lain, kebiasaan merokok merupakan perangkap kemiskinan. Penyebabnya, jumlah uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan pokok masyarakat menjadi menurun. Merokok adalah perangkap kemiskinan.
Negara kolonial sebagai proyek budaya modernitas dimainkan melalu penciptaan Ide-ide tentang eksploitasi hasrat. Selanjutnya, dikembangkan melalui iklan dan dipropagandakan kepada pribumi untuk mendukung kelangsungan sistem kolonial di Hindia-Belanda. lebih-lebih pada tujuan kejayaan ekonomi dan Industrialisasi negara induk melalui eksploitasi moda produksi dan penciptaan pasar di negeri jajahannya
Kebiasaan merokok akan menyebabkan uang yang dibelanjakan menurun. Itu tanpa terkena penyakit sudah mengorbankan banyak hal. beberapa hal yang dikorbankan akibat kebiasaan merokok, antara lain, pada sektor pendidikan, kesehatan, dan gizi keluarga. Dengan uang yang dikeluarkan untuk membeli rokok tersebut, tidak bisa dialokasikan kembali untuk sektor-sektor lain.
Pengeluaran untuk rokok dan susu pada rumah tangga termiskin saja setara dengan 13 kali dari pengeluaran untuk pembelian daging, lima kali lebih besar dari pembelian susu dan telur, dan dua kali lebih besar dari pembelian ikan dan sayuran.
Dengan kata lain, budaya merokok sebenarnya adalah bentuk dari kapitalisasi hasrat yang sengaja di ciptakan dan dipropagandakan oleh pemerintah Kolonial dengan tujuan untuk meraup keuntungan dari bisnis merokok. Seolah-olah, merokok adalah bagian dari identitas masyarakat Indonesia.
- Source : seword.com